Opini  

Telur Naik Harga, Rakyat Makin Sengsara

Zahra Riyanti.

Oleh: Zahra Riyanti

Mahasiswa Pascasarjana MMPT UGM

LAGI-lagi harga telur naik. Lebih dari beberapa pekan ini isu naiknya harga telur menghiasi berbagai platform media massa. Masyarakat banyak melayangkan kritik dan keluhan yang luar biasa di kanal-kanal berita. Mereka menyayangkan sikap pemerintah yang cenderung pasif di tengah melonjaknya harga telur di pasaran mengingat telur merupakan satu dari 12 bahan pokok utama masyarakat yang harusnya terpenuhi.

Sekretaris Jenderal Dewan Pimpinan Pusat Ikatan Pedagang Pasar Indonesia (DPP IKAPPI) Reynaldi Sarijowan mencatat, per Kamis (18/5/2023) harga telur ayam di Jabodetabek di kisaran Rp31.000—34.000 per kilogram, di luar Pulau Jawa atau di wilayah Indonesia Timur mencapai Rp38.000 per kilogram, bahkan ada yang lebih dari Rp40.000 per kilogram.

Reynaldi menilai harga telur yang terus menanjak naik dalam beberapa Minggu terakhir disebabkan oleh dua hal, yaitu faktor produksi dan proses distribusi. Pada faktor produksi harga telur sangat dipengaruhi oleh harga pakan yang tinggi. Lalu pada proses distribusi, terjadi ketidaksesuaian distribusi. Persoalan ini akhirnya ditindaklanjuti oleh Kepala Satuan Tugas (Kasatgas) Pangan Polri Brigjen Whisnu Hermawan.

Ia mengatakan kenaikan harga telur ini sangat dipengaruhi oleh langkanya bahan baku pakan ternak ayam, sehingga dia berjanji akan melakukan berbagai langkah-langkah penyelesaian masalah tersebut. Selain itu, Satgas Pangan Polri juga telah berkoordinasi dengan pelaku usaha jasa angkutan untuk memastikan jalur distribusi dan biaya-biaya operasional lain yang dapat membantu menurunkan harga telur di tingkat konsumen.

Satgas Pangan Pusat juga telah mengeklaim telah berkoordinasi dengan jajaran kementerian/lembaga terkait untuk menindaklanjuti proses percepatan importasi terhadap jagung sebagai bahan baku pakan ternak. Satgas Pangan di daerah juga disebut telah berkoordinasi dengan Dinas Peternakan dan Dinas Pertanian guna mendata terkait ketersediaan jagung yang peruntukkannya pakan ternak.

Kemudian dari pada itu, adanya sebuah fenomena bahwa proses distribusi telur kali ini tidak dilakukan seperti biasanya. Yakni harusnya telur ayam didistribusikan ke pasar. Namun, kali ini banyak pihak yang justru melakukan pendistribusian di luar pasar atau memenuhi permintaan di luar pasar.

Seperti yang tercatat di DPP IKAPPI bahwa ada sejumlah instansi, lembaga, elemen, atau individu yang menekan permintaan yang cukup tinggi pada distribusi telur. Mereka juga tidak merincikan lembaga atau instansi mana yang kerap meminta pengiriman telur di luar pasar. Namun tentunya permintaan tersebut jelas sangat mengganggu arus supply telur di pasar sehingga menyebabkan harganya terus merangkak naik.

Kondisi ini telah menunjukkan bahwa terjadinya eskalasi harga telur merupakan upaya liberalisasi pangan yang terjadi secara luar biasa. Padahal seharusnya telur dapat tersalurkan ke pasar agat dapat memenuhi kebutuhan rumah tangga rakyat, faktanya stoknya tidak tersedia untuk mereka.

Namun, yang menjadi masalah baru ialah betapa penguasa sangat lamban dalam menangani perihal harga telur tersebut dan mekanisme distribusinnya.

Di sisi lain, yang menjadi persoalan juga adalah ketika negara hendak mengambil langkah impor bahan baku pakan ternak, khususnya jagung, alasan pemerintah hanya satu yaitu demi terselesaikan problem bahan baku utama pakan. Padahal Indonesia sebagai negeri yang agraris akan sangat berkemungkinan untuk dapat diadakan apabila ditempuh dengan langkah yang serius dan berani oleh pemerintah tanpa harus bergantung pada impor. Tapi jika demikian apakah lantas, impor bahan baku pakan menjadi solusi untuk menekan harga telur?

Impor jagung barangkali sepintas bisa jadi solusi, tapi jika dilakukan secara terus-menerus,  tentu tidak akan sehat bagi seluruh sektor yang ada, baik pihak ternak ayam petelur maupun di level pertanian jagung nasional. Sebab solusi impor berpengaruh pada paradigma pengelolaan sumber daya pangan di negeri kita. Ketergantungan pada impor jelas akan memandulkan peran negara dalam tata kelola pertanian dan peternakan yang semestinya diurus dan diperhatikan. Belum lagi eksistensi korporasi besar di bawah baying-bayang multinasional corporation selaku produsen pakan ternak dunia.

Konglomerasinya telah memainkan modal sangat besar dalam memainkan pasar.  Bahkan mereka juga mengendalikan sektor produksi dari hulu hingga hilir. Kondisi ini sejatinya rentan jadi masalah bagi para peternak kecil/lokal yang modalnya tidak sebanding dengan jejaring konglomerat ini. Dan Korporasi besar semacam ini juga biasanya telah menggenggam izin/lisensi impor bahan baku sehingga sangat wajar jika impor yang ada sangat mustahil ditiadakan.

Disamping itu, lonjakan harga telur ini memiliki sisi gelap lainnya, yakni akan berdampak secara langsung pada sulitnya terpenuhi sumber protein hewani pada masyarakat yang tengah menghadapi kondisi urgen seperti penderita stunting. Sebagaimana yang kita ketahui, telur adalah sumber protein hewani yang selama ini bisa dibilang termurah dan termudah untuk dijangkau masyarakat. Protein hewani sendiri adalah salah satu sumber gizi utama yang menjadi parameter dalam penentuan status stunting pada anak. Jika kebutuhan protein hewani tercukupi, maka stunting bisa dihindari. Namun masalahnya, jika harga telur menggila bahkan langka di pasaran, penanggulangan stunting yang terprogram dalam kerja pemerintah tentu tampak dijalankan setengah hati.

Di sisi lain, ada masalah yang tidak kalah memprihatinkan, yakni tingginya angka kelaparan di Indonesia. Dalam Indeks Kelaparan Global 2022, Indonesia menempati urutan ke-77 dari 121 negara di dunia. Dengan skor 17,9, secara tren sejak 2014—2022 indeks kelaparan Indonesia memang mengalami penurunan, yakni dari 22,2 (level kelaparan serius) menjadi 17,9 (level moderat/sedang). Meski secara umum ada perbaikan kondisi, indeks kelaparan Indonesia masih tergolong tinggi di kawasan Asia Tenggara.

Demikian juga dengan problem kemiskinan. Menurut data BPS, tingkat kemiskinan masyarakat Indonesia per September 2022 tercatat sebesar 9,57% atau sebanyak 26,36 juta orang berada di bawah garis kemiskinan. Jika dirupiahkan, garis kemiskinan pada September 2022 tercatat sebesar Rp535.547,00/kapita/bulan dengan komposisi Garis Kemiskinan Makanan sebesar Rp397.125,00 (74,15%) dan Garis Kemiskinan Bukan Makanan sebesar Rp138.422,00 (25,85%). Di samping itu, secara rata-rata rumah tangga miskin di Indonesia memiliki 4,34 orang anggota rumah tangga. Dengan demikian, besarnya garis Kemiskinan per rumah tangga miskin secara rata-rata adalah sebesar Rp2.324.274,00/rumah tangga miskin/bulan.

Sesungguhnya, paradigma kapitalisme inilah yang membuahkan terjadinya liberalisasi pangan seperti halnya telur. Sistem ini seharusnya tidak diambil oleh penguasa negeri ini yang telah memeluk Islam. Sebab Islam mengharamkan liberalisasi sektor publik. Selain itu, pangan juga kebutuhan primer individu yang keberadaannya tidak boleh dinomorduakan. Pangan adalah instrumen pemenuhan kebutuhan jasmani tiap manusia yang bisa berakibat fatal berupa kematian jika tidak dipenuhi. Stunting, kelaparan, dan kemiskinan, adalah tiga kondisi yang mewakili contoh ancaman serius terhadap tidak terpenuhinya kebutuhan jasmani tersebut.

Oleh karenanya, sangat urgen bagi kita untuk melakukan perubahan secara paradigmatik dalam pengelolaan pangan ini, dari kapitalisme menjadi Islam. Karena Islam sesuai fitrah manusia sehingga segala sesuatu yang berasal dari Islam pasti mampu menjadi solusi tuntas bagi problematika kehidupan manusia. Selain itu, hanya sistem Islam yang mampu mewujudkan sabda Rasulullah saw., “Imam atau Khalifah adalah pengurus dan ia bertanggung jawab terhadap rakyat yang diurusnya.” (HR Muslim dan Ahmad).

Berdasarkan hadis ini, khalifah Islam akan memenuhi hak warganya, apalagi jika itu termasuk kebutuhan primer seperti pangan.

Jika persoalan harga telur ini disebabkan karena bahan keterbatasan baku pakan ternak dan akhirnya bergantung pada impor serta permasalahan distribusi di tengah masyarakat, maka Khalifah berperan aktif dalam mengontrol harga telur sekaligus menjamin terdistribusinya komoditas tersebut kepada masyarakat. Sistem Islam juga merupakan sistem yang komplit, dimana khalifah akan memiliki data akurat mengenai kemiskinan serta kebutuhan pangan dan gizi setiap keluarga, sehingga penanggulangan stunting dan kelaparan bisa teratasi dengan tepat.

Negara juga akan serius mengelola komoditas pangan seperti jagung karena jagung adalah bahan baku pakan ternak ayam serta memfasilitasi secara gratis, lengkap, dan modern bagi para peternak ayam petelur dalam segala aktivitasnya. Negara akan sigap dalam mengawasi perdagangan pakan dan obat-obatan ternak agar peternak tidak harus membayar mahal, bahkan bisa gratis dalam rangka memenuhi gizi dan menyehatkan ternaknya. Terakhir, negara juga pasti menutup pintu serapat-rapatnya atas monopoli korporasi swasta, sehingga tidak memberi peluang terjadi kelangkaan telur di pasaran.

Dengan demikian, negara yang menerapkan Islam mampu mengatasi harga telur maupun kebutuhan lainnya, sehingga tidak harus membuat rakyat galau dan sengsara dalam meniti jalan kehidupan. (*)