Opini  

Impor Beras Akibat El Nino, Kebijakan Negara Makin Sembrono?

Zahra Riyanti.

Oleh: Zahra Riyanti

Aktivis Dakwah dan Mahasiswa Pascasarjana MMPT UGM

BMKG beberapa waktu lalu telah memberi warning kepada semua elemen masyarakat dan pemerintah terkait potensi ancaman El Nino di kawasan Indonesia di 2023 ini. El Nino adalah fenomena pemanasan Suhu Muka Laut (SML) di atas kondisi normal yang terjadi di Samudra Pasifik bagian tengah dan timur. Adanya pemanasan SML itu mengakibatkan bergesernya potensi pertumbuhan awan dari wilayah Indonesia ke wilayah Samudra Pasifik tengah sehingga akan mengurangi curah hujan di wilayah Indonesia. Dampak terburuk El Nino yang ditakutkan terjadi ialah dapat mengakibatkan kebakaran hutan (Karhutla) bahkan gagal panen raya yang berujung krisis pangan.

Gambaran situasi yang demikian pelik ini akhirnya pemerintah buka suara dan meneguhkan komitmen untuk bersiap menghadapi badai El Nino dengan langkah pertama yaitu impor beras yang diperkirakan sebanyak 3 juta ton di tahun ini. Banyak pihak pun bereaksi dengan kebijakan tersebut. Pasalnya, pemerintah dinilai tidak memiliki pertimbangan yang serius dan perencanaan yang matang karena akan sangat berdampak negatif pada petani.

Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies, Bhima Yudhistira Adhinegara, mengatakan kebijakan impor beras tersebut terlihat dilakukan tanpa persiapan yang matang. Pasalnya, El Nino merupakan kondisi yang sudah bisa diperkirakan tahun sebelumnya. Dia mengatakan, pengadaan beras Bulog seharusnya sudah ditingkatkan sejak tahun lalu. Pemerintah juga seharusnya bisa menambah produksi sejak jauh hari dengan meningkatkan kualitas benih dan bantuan pupuk. Sebab impor beras sekilas mungkin akan menyelamatkan situasi pangan dalam negeri yang terbilang darurat, namun memiliki dampak skala jangka panjang yang luar biasa terhadap eksistensi petani bahkan kedaulatan negara.

Selain itu, jika kita menguak kembali problem sistem pertanian di Indonesia ini selalu kerap menghadapi problem yang tidak ada putus-putusnya mulai dari sektor hulu seperti ketersediaan lahan, supply pupuk, peptisida juga benih dan sistem irigasi yang kalangkabut hingga di sektor hilir yakni siklus produksi komoditas pangan yang amburadul dan tidak jelas. Sehingga alih-alih menyelesasikan problem pangan dinegeri ini dengan impor, nyatanya menambah ruwet masalah yang sebelumnya.

Sebenarnya negara ini sudah doyan impor sejak dulu, namun ibarat menara gading yang tinggi yang tidak tersentuh kritik dan perubahan akbitanya makin terbiasa dan normal terjadi. Padahal doyan impor ini dapat merenggut kedaulatan pangan. Seperti pada penelusuran track record impor beras, tampak bahwa selama lima tahun terakhir Indonesia melakukan impor beras antara 350 ribu—450 ribu ton setiap tahunnya. Namun, lonjakan impor hingga jutaan ton baru terjadi jika setahun menjelang tahun politik. Seperti pada 2018, setahun menjelang pemilu 2019, realisasi impor beras mencapai 2,2 juta ton. Lonjakan ini terjadi lagi tahun ini, setahun menjelang pemilu 2024.

Namun terlepas dari tahun politik, nyatanya setiap tahun ratusan ribu ton beras impor masih membanjiri Indonesia. Hal ini tentu pukulan berat oleh para petani. Akibat anjloknya harga gabah, banyak petani yang enggan menanam padi. Akibatnya, produksi padi pun menurun. Di sisi lain, meski pemerintah gencar melakukan impor beras, harga beras di Indonesia tetap tergolong tinggi. Bank Dunia menyebut harga beras di Indonesia merupakan yang termahal di antara negara-negara Asia Tenggara dalam satu dekade terakhir.

Laporan Indonesia Economic Prospect edisi Desember 2022 oleh World Bank menuliskan bahwa harga eceran beras Indonesia 28% lebih tinggi dari harga di Filipina dan dua kali lipat harga di Vietnam, Kamboja, Myanmar, dan Thailand. (Katadata, 3-1-2023).

Oleh karena itu, tampak bahwa impor beras sesungguhnya tidak menjadi problem solver atas sikon alam yang tak bersahabat dengan eksistensi pertanian yang juga situasi mahalnya harga beras di Indonesia. Tampak pula bahwa kebijakan impor sama sekali menunjukkan ketidakberpihakan pada rakyat. Petani jelas diirugikan oleh impor karena membuat pendapatan petani makin melempem. Sedangkan masyarakat juga tidak diuntungkan oleh impor karena harga beras tetap tinggi dan terus naik dari tahun ke tahun.

Dengan demikian, kebijakan impor hanya menguntungkan segelintir pihak yang menjadi bagian dari rantai impor beras. Kebijakan gemar impor menunjukkan adanya liberalisasi di sektor pangan. Keran impor dibuka lebar dengan dalih agar stok cukup dan harga beras turun. Liberalisasi pangan sebenarnya telah terjadi sejak 1995 ketika Indonesia meratifikasi Perjanjian World Trade Organization (WTO) yang mewajibkan Indonesia meliberalisasi pasar secara bertahap. Pelaksanaannya dimulai pada 1998 sebagai bagian LoI dengan IMF dengan melakukan pencabutan subsidi pupuk, membuka keran impor beras, dan penerapan tarif impor nol persen. Liberalisasi pum berlanjut dengan penandatanganan ASEAN-China Free Trade Area (ACFTA) pada 1 Januari 2010 yang menjadikan produk pangan Cina membanjiri pasar Indonesia.

Liberalisasi pangan pun makin menggila dengan disahkannya UU Cipta Kerja. Pasal 14 UU 18/2012 tentang Pangan yang berbunyi bahwa sumber penyediaan pangan berasal dari produksi pangan dalam negeri dan cadangan pangan nasional. Jika belum mencukupi, pangan dapat dipenuhi dengan impor pangan sesuai dengan kebutuhan.

Namun, UU Cipta Kerja merevisi pasal ini bahwa sumber penyediaan pangan ada tiga, yaitu produksi dalam negeri, cadangan pangan nasional, dan impor. Dengan revisi ini, impor bisa dilakukan kapan saja meski supply dalam negeri masih cukup.

Liberalisasi pangan juga ternyata disusupkan pada pada tujuan ke-2 SDGs yang digagas oleh PBB, yaitu “No Hunger”. Salah satu targetnya adalah memperbaiki dan mencegah pembatasan dan distorsi dalam pasar pertanian dunia, termasuk melalui penghapusan secara bersamaan segala bentuk subsidi ekspor pertanian dan semua tindakan ekspor dengan efek setara, sesuai dengan amanat The Doha Development Round. Dibukanya keran impor beras ini juga sesuai arahan Bank Dunia pada laporan Indonesia Economic Prospect, World Bank (2022).

Alhasil, impor beras besar-besaran yang dilakukan bukan semata-mata karena adanya fenomena El Nino saja, namun sudah menjadi tabiat dari sistem kapitalisme hari ini meliberalisasi sektor pangan berdasrkan arahan negara-negara besar melalui lembaga-lembaga dunia seperti PBB, IMF, dan WTO. Seolah terdikte beginilah nasib Indonesia sebagai negara kecil ketika berhadapan dengan negara besar. Sehingga untuk bisa lepas dari jerat liberalisasi pangan, Indonesia harus melepaskan diri dari tatanan kapitalistik ini dan menerapkan aturan Islam.

Di dalam Islam negara memandang bahwa aspek pangan adalah salah satu dari 3 kebutuhan kolektif utama yang harus dijamin pemenuhan dan aksesnya. Pemenuhan ini berdiri di atas asas akidah Islam dan bersandar pada syariat Islam. Oleh karenanya, pengadaan pangan tidak berlangsung secara liberal oleh pihak-pihak tertentu, tetapi sesuai aturan syariat.

Allah SWT melarang umat Islam berada dalam kendali orang kafir. Firman-Nya,

وَلَنْ يَّجْعَلَ اللّٰهُ لِلْكٰفِرِيْنَ عَلَى الْمُؤْمِنِيْنَ سَبِيْلًا

“Allah tidak akan memberi jalan kepada orang kafir untuk mengalahkan orang-orang beriman.” (QS An-Nisa: 141).

Berdasarkan ayat ini Islam dengan institusi politiknya tidak boleh tergantung kepada impor pangan karena akan menyebabkan umat Islam akan dikuasai oleh orang kafir. Sebaliknya, institusi Islam akan berswasembada pangan dengan mengoptimalkan pertanian di dalam negeri sehingga terwujudlah kedaulatan pangan.

Langkah-langkah yang ditempuh adalah sebagai berikut. Pertama, ekstensifikasi pertanian, misalnya dengan menghidupkan tanah mati. Kedua, intensifikasi pertanian, misalnya dengan penggunaan alat pertanian berteknologi canggih hasil karya dalam negeri. Ketiga, penelitian untuk menghasilkan bibit unggul dan alat-alat pertanian modern. Keempat, bantuan pupuk, benih, dan saprotan lainnya. Kelima, memastikan tidak ada gangguan dalam pasar, seperti monopoli, penimbunan, dan penipuan. Semuanya ini hanya bisa diwujudkan jika negara menerapkan hukum hukum Islam yang telah terbukti secara historis mampu menghapus segala bentuk ketergantungan kepada asing dan menciptakan independensi negara termasuk dalam bidang pertanian atau pangan. (*)