Oleh: Basri Amin
Parner di Voice-of-HaleHepu
JIKA Anda miskin, maka “terlalu banyak perkara dan masalah yang harus Anda sikapi”. Tapi, jika Anda orang kaya, maka “hampir semua kebijakan dan keadaan terasa menguntungkan dan terkesan untuk Anda semuanya…”.
Cuplikan di atas adalah ekstensi dari apa yang saya simak dari karya terbaik pasangan peraih Nobel Ekonomi (2019) dan sarjana ternama dari MIT, Banerjee & Duflo (2019). Keduanya dikenal sebagai “ekonom Orang miskin…”. Keduanya menawarkan pendekatan yang sangat bermanfaat, antara lain dalam hal penerapan sistem “tutorial” yang komprehensif dalam persekolahan di wilayah-wilayah miskin dan sistem “subsidi” untuk program (prevensi) kesehatan di berapa negara.
Sayangnya, banyak sekali bantuan dan program untuk orang miskin ternyata “menemui tangan-tangan yang salah” dengan motif keuntungan yang sangat sepihak. Karena itu, kita butuh saling mendengar dan benar-benar mengenali denyut-masalah kemiskinan tanpa berpretensi paling hebat dan paling jitu solusinya. Yang bisa kita kerjakan adalah buatlah “revolusi kecil” di wilayah masing-masing, dengan pendekatan dan perlakuan yang terukur serta empati mendalam dan dengan logika yang jernih memihak. Begitulah Banerjee & Duflo memaparkan panggilan akademisnya dalam perkara kemiskinan di dunia dewasa ini.
Jika ada daerah yang tidak berontak jiwa-raganya padahal sudah sekian dasawarsa dilabeli sebagai “daerah termiskin’ di sebuah negeri besar, maka bisa jadi daerah tersebut “terlalu miskin untuk mampu sadar dan bernalar” dengan keadaannya. Di baliknya ada sesuatu yang sistemik berpengaruh sedemikian rupa di masyarakat dan di pemerintahannya yang membuatnya ia tak bisa beranjak-memadai bergerak dan membuat loncatan perbaikan.
Orang miskin ada di mana-mana. Mereka yang berteriak karena beban penghidupan keseharian yang semakin besar tetapi ruang bersuara mereka yang semakin sempit oleh retorika kuasa dan golongan menengah-elite yang diuntungkan oleh uang, akses, pengetahuan, jejaring kelompok/keluarga, dan fasilitas negara.
Pada mulanya, ada sejenis kolonialisme dan feodalisme yang memborgol kebebasan ekonomi dan pengungkapan aspirasi dari golongan miskin yang membuat mereka begitu lama “hidup dengan kategori” tersebut. Begitulah yang sekian lama disusun dan disematkan kepada golongan miskin oleh mereka yang merasa paling tahu dan paling memihak kepada nasibnya.
Tak ada leader! Tak ada pembaru yang konsisten di daerah itu…yang banyak adalah rombongan pejabat dan pecundang yang berganti selimut dan warna kelompok, serta yang antrian berlatih retorika di setiap Pemilu.
Angka-angka kemiskinan selalu dihitung setiap saat, baik yang resmi-statistikal maupun yang bersifat penggambaran faktual –berskala mikro di perdesaan dan di perkotaan. Tingkat kedalaman dan kerentanannya pun sudah sering dipelajari angka-angkanya. Dalam hal ini, orang-orang miskin dan daerahnya selalu menarik dijadikan “objek” pengetahuan dan kebijakan.
Sayangnya, keberadaan orang-orang kaya masih jarang dihitung benar dan dipelajari betul dari mana sumber-sumber kekayaan mereka. Adakah mereka secara sepihak membesarkan kekayaannya karena ketidakadilan struktural yang mereka manfaatkan sejauh ini? Adakah mereka yang memanfaatkan jejaring kekuasaan dan akses kapital yang menumpuk pada sekolompok orang?
Daerah miskin pasti punya orang-orang kaya, bukan?
Di kalangan ilmuan sosial, sejak karya tiga jilid Gunnar Myrdal, Asian Drama: An Inquiry into the Poverty of Nations (1972 [1977]) yang terkenal itu, sebenarnya perhatian serius dan kajian tentang bangsa-bangsa “miskin” menyangkut benturan-benturan aspirasi ekonomi mereka di bidang pertanian dan permintaan pelembagaan industrialisasi yang berbasis kepada sumber daya alam, sudah sangat kritikal. Oleh banyak sarjana dan teknokrat, mereka bahu-membahu merancang ide-ide dan kebijakan nasional/lokal guna menjawab masalah kemiskinan, dengan menggarisbawahi empat domain pokok: kependudukan/lapangan kerja, penggunaan teknologi, perluasan produksi dan jenis usaha, dan pendidikan/ kesehatan.
Myrdal sendiri sangat mendalami banyak studi kasus di Asia Selatan dan Tenggara sejak akhir 1970an dan sudah menegaskan dengan keras tentang pentingnya “kebijakan khusus” di setiap titik perubahan struktural dari penghidupan dan penerapan kebijakan ‘pembangunan’ bagi kantong-kantong kemiskinan.
Di sisi ini, Myrdal jauh-jauh hari mengingatkan tentang begitu variatifnya ketidaksesuaian dalil-dalil ekonomi (Barat) untuk begitu saja diterapkan di masyarakat (Asia) yang sebagian besar membutuhkan reaksi-reaksi “perubahan perilaku” yang produktif dalam mendorong perbaikan kualitas hidup warga miskin. Keadaan mereka sudah lama stagnan dan tidak mudah bisa berubah cepat, terutama karena kelembagaan sosial dan orientasi budaya yang masih jadi penghalang (Myrdal, 1977: 256; Sachs, 2005).
Pengamatan Myrdal sangat tajam, antara lain karena membantu kita memahami bahwa bahwa “…bagi golongan miskin, kepekaan dan kecepatan perilaku mereka menyikapi peluang pasar tidak selamanya sebanding dengan dorongan perubahan di sektor-sektor ekonomi lainnya di luar lingkungan atau wilayahnya. Di sini, kekuatan “lembaga ekonomi” yang tersedia di masyarakatlah yang diharapkan mampu berdaya-ungkit menggerakan daya kewirausahaan di kalangan bawah…”
Dengan kata lain, faktor non-ekonomi tampaknya semakin dominan menentukan apakah loncatan-loncatan (perbaikan) penghidupan golongan miskin terselenggara konsisten di sebuah daerah atau negara. Dalam satu skala keterpurukan yang berkepanjangan atau yang potensial membawa tragedi yang meluas, langkah-langkah besar yang mengakar tentang “nasib manusia” haruslah dipastikan.
Di sisi ini, kita nyaris tidak punya data sejarah yang jujur-terbuka diungkapkan tentang “generasi orang miskin”, setidaknya dengan melihat dasar-dasar hidup yang mereka punyai/alami: kepemilikan tanah, perbaikan kesehatan, dan perlindungan anak, dan alat-alat produksi mereka. Tanpa itu semua, jalan masa depan seperti apa yang membuat mereka bisa tersenyum?
Jangan sampai, pelan-pelan tapi pasti, yang akan terjadi adalah “bunuh diri generasi” yang berkepanjangan. Mereka akan kehilangan cita-cita dan pengharapan karena setiap kali warga miskin mencoba menapaki pilihan (perbaikan nasib) generasi barunya, misalnya ketika menyekolahkan anak ke jenjang menengah dan tinggi, mereka ternyata harus berkorban lagi: menjual aset usaha, berulang-berutang, alih usaha, mengabaikan ‘hak pendidikan’ anak-anak perempuannya, dst.
Sejauh ini, keterisolasian geografis, kepemilikan aset dan modal, akses air bersih, dan fasilitas utama pendidikan dan kesehatan adalah keadaan yang selalu dijadikan parameter dalam melihat keterparahan kemiskinan di satu wilayah. Tentu, pertama-tama, dengan melihat kondisi perumahan, jenis pekerjaan, dan ukuran keluarganya. Dalam keadaan seperti itu, “kemiskinan tampak tidak lebih sekadar data” yang tercatat dan terungkap. Tapi, penggalian atas keperihan hidup dan ketergantungan mereka kepada banyak faktor dan aktor, masih amat jarang kita suarakan dengan nyaring di ruang-ruang (kebijakan) publik.
Apakah tidak pernah lahir gagasan hebat dan praktik luar biasa dari kalangan golongan miskin itu sendiri? Pencapaian seperti itu sudah banyak dicatat di banyak tempat di India dan Afrika. Yang jarang kita cermati adalah skala lokal yang melilit beberapa wilayah di negeri kita, dengan jurang dan kerentanan yang semakin berat dewasa ini: perubahan iklim, degradasi lingkungan, penyempitan lapangan kerja, kebijakan (pembangunan) yang mubazir dan lemahnya kepemimpinan ekonomi di banyak wilayah. Bagaimana di daerah Anda? (*)
Penulis adalah parner di Voice-of-HaleHepu.
Surel: basriamin@gmail.com