Oleh: Nurcholish H.R
Ketua Rampai Nusantara Malut/Putra Gane Timur
PERUBAHAN mendasar yang terjadi di lingkup nasional, regional, maupun global, telah menuntut kebijakan dan perangkat baru dalam pelaksanaan hubungan antar Negara. Kemajuan teknologi informasi dan komunikasi telah mendorong globalisasi saling ketergantungan antar negara dan antar masalah semakin erat. Akibatnya tercipta suatu dunia tanpa batas (borderless world) yang seolah-olah membentuk suatu global village bagi masyarakat dunia.
Sejalan dengan proses globalisasi tersebut, para pelaku hubungan internasional juga meluas, tidak hanya melingkup Negara (state actor) saja, namun meluas pada aktor-aktor selain Negara (non-state actor) seperti organisasi internasional, LSM, Perusahaan Multinasional (MNC’s), daerah, kelompok-kelompok minoritas, bahkan individu.
Beragamnya aktor yang terlibat dalam hubungan luar negeri disamping membuat proses bagi pemantapan diplomasi Indonesia. Pemberdayaan seluruh aktor hubungan luar negeri diharapkan dapat mewujudkan suatu diplomasi yang memandang substansi permasalahan negara integrative dan melibatkan semua komponen bangsa dalam suatu sinergi yang disebut total diplomacy.
Pemberlakuan UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Otonomi Daerah yang secara tidak langsung meruntuhkan “tembok” pemisah antara pusat, daerah maupun aktor hubungan internasional, yang memang dulunya pelaksanaan Politik Luar Negeri merupakan kewenangan Pemerintahan Pusat, tanpa melibatkan daerah.
Untuk memperlancar jalannya program pembangunan nasional setiap sektor yang dianggap berpotensi untuk menopang jalannya pembangun harus dioptimalkan pengelolaan bahkan pengembangannya. Salah satunya sektor pariwisata, karena disamping memberikan andil dalam hal pemasukan, pariwisata juga dapat menciptakan integrasi nasional dan persahabatan bangsa-bangsa dengan saling pengertian terhadap cara berfikir dari budaya masing-masing bangsa. Dengan pemberlakuan UU Otonomi Daerah tersebut juga, secara eksplisit targetan yang ingin dicapai oleh Pemerintah Pusat dan Daerah antara lain diarahkan untuk memberdayakan dan mempromosikan potensi daerah, dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Event Widi Coastal Fest (WFC) 2023 tentu memiliki Peluang dan Tantangan.
Terlepas dari ceremonial event ini, hal yang paling diharapkan adalah efek apa didapatkan oleh masyarakat setempat. Apalagi pasca event Widi International Fishing Tournament 2017 lalu cenderung tak ada lagi event-event yang berskala lokal maupun nasional yang dilaksanakan di sana.
Agenda acara dari Widi Coastal Fest 2023 harus siap secara konsep maupun di lapangan. Tidak hanya sebatas hura-hura yang muncul sesaat, lalu ‘tenggelam’ seterusnya.
Efek ekonomi maupun sosial-budaya harus didapatkan masyarakat, apalagi pasca musibah gempa bumi yang melanda Pesisir Gane/Halsel 2019 lalu masih menyisahkan trauma bagi masyarakat setempat. Selain itu hal-hal seperti akses transportasi dan telekomunikasi maupun infrastruktur perlu diperhatikan oleh pemerintah.
Pelaksanaan Widi Coastal Fest (WCF) 2023 diharapkan bukan semata-mata sebagai ajang ceremony pariwisata atau mancing mania dan lainnya. Tapi lebih jauh lagi, WCF 2023 adalah bagaimana membuka mata dunia tentang potensi pariwisata Maluku Utara di Halmahare Selatan (Pulau Widi Kec. Gane Timur Selatan), yang tak kalah indah dan mempesona dengan Bali maupun Raja Ampat.
Selain Sail Morotai yang pernah dilaksanakan di Maluku Utara pada 2012 dan WIFT 2017, WCF 2023 merupakan peluang dan harus mampu membangkitkan gairah pariwisata internasional di Maluku Utara dengan konsep “Daerah Pro-Investasi” yang tak melepaskan peran/posisi masyarakat lokal, dengan prioritas pengembangan pariwisata yang utama dan pertama adalah membangun manusianya, terutama masyarakat lokal dan yang langsung berinteraksi dengan wisatawan agar dapat dicapai kesetaraan dan terjadinya saling pertukaran maupun kerja sama yang saling menghargai dan memperkaya kehidupan.
Pariwisata dapat dimanfaatkan untuk mendorong perubahan hidup dan penghidupan melalui peluang kerja yang tersedia, peningkatan pendapatan, dan membaiknya kualitas hidup masyarakat. Pariwisata juga dapat mengurangi tekanan penduduk dalam mengeksploitasi lahan dan sumber daya lingkungan.
Pariwisata di era otonomi berperan penting dalam pengembangan masyarakat dan pembangunan wilayah, terutama wilayah terpencil yang memiliki potensi alam dan budaya yang unik. Kecenderungan meningkatnya minat daerah dalam pengembangan kegiatan pariwisata memerlukan perhatian dan penanganan yang seksama. Tantangan yang di hadapi Pemda sendiri adalah bagaimana prakarsa dan inisiatif daerah membangun dirinya di masa otonomi ini sangat penting bagi konsolidasi strategi nasional dalam pengembangan pariwisata. Prakarsa dan inisiatif yang dimaksud adalah bagaimana pemda menarik investasi asing ke daerah.
Daerah Pro-Investasi
Di dalam Penjelasan Umum UU No. 25 Tahun 2007 dinyatakan pentingnya peranan pemerintah daerah. Pemerintah diharuskan untuk menjalin koordinasi yang baik antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Koordinasi tersebut harus dijalankan dengan semangat otonomi daerah. Dalam pengembangan peluang bagi potensi daerah, koordinasi menjadi titik penting bagi penanaman modal (investasi) di daerah, baik dalam urusan kepemerintahan terkait investasi, maupun dalam kerangka kemampuan daerah untuk melakukan investasi. Oleh karena itu koordinasi dan potensi daerah harus dapat dijadikan saran bagi pengelolaan keuangan daerah terkait dengan PAD (Pendapatan Asli Daerah) di dalam konteks APBD. Namun meningkatnya jumlah produk perundangan (perda) secara signifikan terkait retribusi maupun pajak daerah memberikan gambaran adanya respons daerah yang berlebihan dalam menghadapi otonomi daerah. Hal ini justru menjadi kontraproduktif karena menambah beban publik (masyarakat) dan juga menghambat masuknya investasi ke daerah. Masyarakat tidak memberikan kontribusi seperti yang diharapkan (melalui pembayaran retribusi dan pajak daerah), dan hal ini bisa jadi disebabkan masih rendahnya kemampuan membayar (ability to pay) ataupun kemauan membayar pajak (willingness to pay) masyarakat. Salah satu faktor yang diyakini menjadi penyebab masih rendahnya kedua hal ini (kemampuan dan kemauan untuk membayar) adalah tidak adanya perubahan kesejahteraan masyarakat yang signifikan. Oleh sebab itu, untuk mengatasi problem tersebut pemerintah daerah harus lebih ekstra kerja keras dan bijak dalam merespons kesenjangan sosial yang terjadi.
Menyadari bahwa Maluku Utara adalah Provinis Kepulauan, maka secara khusus diingatkan bahwa kesiapan daerah menjadi faktor penting yang cukup menentukan keberhasilan daerah dalam mengimplementasi kebijakan otonomi daerah dengan tujuan kesejahteraan masyarakat. Semoga event WCF 2023 bisa berdampak pada peningkatan pariwisata Maluku Utara dan kesejahteraan masyarakat, khususnya di Gane Timur. (*)