(Catatan Untuk Kepala DLH Kota Ternate, Tonny S Pontoh)
Oleh: Jufri M Soleman
Sekretaris DPD KNPI Maluku Utara
PEJABAT publik adalah orang yang ditunjuk atau diberi tugas menduduki posisi atau jabatan tertentu pada badan publik. Dalam banyak literasi disebutkan, minimal seorang pejabat publik memiliki tiga tugas utama, yaitu: Pertama, membantu masyarakat untuk memahami hak dan tanggung jawabnya. Bukan tanpa alasan hal ini dilakukan. Semakin cair hubungan masyarakat dengan pejabat publik, maka semakin pola komunikasi yang terbentuk juga semakin baik. Publik menjadi leluasa untuk menyampaikan persoalan yang dihadapi. Pejabat publik mengetahui akar persoalan. Hingga akhirnya, muncul kesadaran untuk memahami hak dan kewajiban satu sama lain.
Kedua, membangun iklim pelayanan publik yang sehat. Budaya melayani memang bukan hal yang baru. Pembangunan zona integritas dan wilayah birokrasi bersih dan melayani sebagaimana diatur dalam ketentuan yang berlaku telah menjadi kewajiban bagi penyelenggara. Namun, budaya melayani tersebut hanya akan berhenti pada dokumen administratif apabila tidak dilakukan dengan kesadaran penuh.
Ketiga, terbuka dalam menyampaikan kondisi yang dihadapi internal.
Mencermati pemberitaan yang dipublis oleh salah satu media daring, Nuansa Media Grup (NMG) dengan judul “Kepala DLH Ternate: Masalah Sampah Jangan Salahkan Pemkot ” Rabu, 11 Oktober 2023 pada alinea ketiga, ia menyebutkan “Tapi masalah sampah jangan salahkan pemerintah kota sekarang, karena masalah sampah ini adalah masalah pemerintah kota sebelumnya,” Sementara pada alinea kelima, dia kembali menyebutkan “Kami mengalami kesulitan karena lurah dan camat tidak mengambil peran untuk memberikan sosialisasi kepada warganya”.
Bagi penulis, dari dua kalimat di atas telah menunjukkan ada inkonsistensi di satu sisi dan playing victim pada sisi yang lain. Inkonsistensi, karena tidak ada penjelasan yang utuh dan mendasar tentang asbab dari problem sampah. Pertanyaannya kemudian adalah apakah problem sampah adalah masalah rezim sebelumnya atau masalaah lurah dan camat yang tidak mengambil peran dalam melakukan sosialisasi kepada warganya Pertanyaan berikutnya adalah rezim mana (sebelumnya) yang dia maksud? Pertanyaan ini harus dijawab secara konsisten oleh seorang pejabat publik (Tonny S Pontoh). Pada sisi yang lain adalah playing victim atau dalam istilah Sigmund Freud disebut proyeksi paykologis adalah sebuah cara menghindari masalah yang diperbuat diri sendiri dengan melemparkan tanggung jawab kepada orang lain. Di saat yang sama, orang yang telah berbuat salah (pelaku) akan memposisikan diri sebagai korban.
Playing Victim
Playing victim adalah sebuah sikap seseorang yang dengan sengaja menimpakan kesalahan kepada orang lain.
Padahal, ia tahu, kesalahan tersebut adalah kesalahan yang dilakukannya sendiri. Bahkan, orang tersebut bisa mengaku sebagai korban, lantaran hendak menghindari tanggung jawab sebagai pelaku.
Namun sebenarnya masih banyak alasan orang-orang tersebut melakukan hal itu, seperti hendak mencari perhatian, mengontrol pikiran dan perasaan orang lain, atau sebagai cara untuk menghindari situasi yang tidak disukainya. Playing victim adalah perilaku yang toxic, dan bisa dianggap sebagai sesuatu yang menyimpang.
Tanda-tanda Perilaku Playing Victim
Yang Pertama adalah tidak mau bertanggung jawab. Seorang terapis dari California, yaitu Vicki Botnick (dalam gramedia.com) mengatakan, salah satu ciri playing victim adalah mereka yang suka menghindar dari tanggung jawab. Ia juga menjelaskan, orang yang memiliki sifat playing victim atau victim mentality akan sangat sulit ketika diberi tanggung jawab dan kepercayaan. Mereka cenderung memiliki sifat sering menyalahkan orang lain, tidak ingin dibebani tanggung jawab dengan banyak alasan, dan selalu menghindar dari kesalahan yang diperbuatnya.
Yang Kedua tidak memikirkan solusi, hanya fokus pada masalah. Orang-orang yang memiliki sikap playing victim adalah mereka yang pesimis, dan biasanya tidak memiliki inisiatif dalam membuat perubahan. Selain itu, mereka juga lebih senang mengasihani diri sendiri dibanding menerima bantuan orang lain. Padahal, mengasihani diri sendiri dengan bersedih sepanjang waktu bukanlah sesuatu yang baik dan menyehatkan.
Dan yang ketiga adalah tidak memiliki kepercayaan diri yang tinggi. Tanda ketiga dari orang yang memiliki sifat ini adalah memiliki kepercayaan diri yang rendah. Mereka ini umumnya adalah orang yang tidak memiliki pandangan positif terhadap kemampuan dirinya sendiri. Mereka ini selalu menganggap dirinya sebagai korban dan orang yang tidak berani mengambil langkah. Mereka ini juga kerap dilanda ketakutan saat hendak melakukan sesuatu. Seakan-akan ia tidak akan mampu dan gagal dalam melakukan hal tersebut.
Akhir dari catatan ini, sebagai seorang pejabat publik tak pantas melakukan playing victim semacam ini, apalagi di wilayah publik. Problem sampah di kota ini adalah problem yang akut, karena itu harus ditangani secara serius, fokus menyelesaikan masalah sampah daripada fokus untuk saling menyalahkan antara satu dengan yang lain. Letakan kepentingan publik di atas segalanya dari kepentingan-kepentingan lainnya. Semoga. (*)