Oleh: Igrissa Majid
Founder Indonesia Anti Corruption Network
ADA yang mengeluh, ada yang mengkritik, ada yang berharap, ada pula yang menarasikan sejarah pembentukannya. Semua angle tulisan tentang Dirgahayu “Negeri Salah Urus” itu tidak lain karena kegelisahan.
Saya termasuk dalam kegelisahan itu, senang dengan pemaparan yang bernada kritik, apalagi tentang narasi pembentukannya, rasanya membawa kita pada semangat mereka yang berpeluh demi daerah otonomi baru bernama Maluku Utara, kala itu.
Tetapi saya akan menarik diri dan pergi ke sisi lain, untuk meng-capture angle yang berbeda, tentang mental para pejabat yang terus merawat kekuataan basis konstituen demi despotisme; mengokohkan trah politik karena takut kehilangan jabatan dan pudarnya status sosial sebagai “Orang Besar” di Maluku Utara.
Bahwa ada problem yang sesungguhnya sangat membingungkan. Apakah itu? Yaitu menciptakan budak-budak elektoral sebagai modal politik. Bahkan membuka peluang pasar kapitalis dengan alibi pengentasan kemiskinan. Mengizinkan korporat untuk menggundulkan hutan-hutan Halmahera yang subur.
Saya mencoba membangun argumen berdasarkan apa yang saya amati selama ini, sejak puluhan tahun silam sebelum berpindah penduduk sebagai warga Jawa Barat. Bahwa sudah 20 tahun lebih, terjadi penyimpangan demokrasi lokal yang sengaja dikonstruksikan untuk membatasi ruang kesetaraan bagi masyarakat hingga memenangkan gelanggang pertarungan politik.
Kesengajaan ini dilakukan sebagai actualization of power yang harus dilegasikan dalam garis genetika yang sama. Memang itu tidak salah dalam ruang demokrasi, tetapi ketidakwajaran berdemokrasi, karena demokrasi bukan hanya tersedianya mekanisme politik elektoral dan mengeuforiakan konstituen.
Melainkan ada kebajikan, ada kebijakan, ada etika dan moral yang mesti dibentangkan dalam kekuasaan. Kalau elemen-elemen ini tergembok dalam dinding tirani, maka sudah tentu itu sebagai petanda despotisme baru, atau dalam istilah John Keane, Profesor Politik University of Sydney, dikenal neo-despotism.
Di Maluku Utara, kurang lebih 10 tahun terakhir, gejala neo-despotism itu mulai tumbuh. Merebut semua peluang, bahkan ujug-ujug muncul ke permukaan dengan mendaku diri sebagai tokoh atau jenis public figure lainnya.
Bagi kalangan masyarakat menengah ke bawah telah tersandera sejak dalam pikiran: “kalau kitong mau tempati kekuasaan akan kitong kalah, me torang tarada doi, apalagi bukang keluarga pejabat setingkat Gubernur, Bupati, Walikota, Kadis, atau apapun itu lah namanya.”
Artinya, dalam neo-despotism, hak setiap warga negara telah dihantui oleh kekuatan trah politik yang dianggap memiliki semua kelengkapan pertarungan, mulai dari uang, partai politik, media, basis elektoral, maupun perangkat lainnya.
Kenyataan ini akibatnya persis dengan pemikiran John Keane dalam bukunya The New Despotism (Harvard University Press, 2020) bahwa masyarakat akhirnya tertarik dengan tawaran-tawaran palsu, yakni terhapusnya beban kewarganegaraan, dan akan tiba pada fase “sejahtera” bila kekuasaan diberikan kepada mereka yang menguasai semua instrumen politik.
Pada kenyataannya, memang neo-despotism adalah kepemimpinan yang menyerupai gaya lama. Menumpuk kekayaan pribadi, melegitimasi kekerasan, dan tetap menciptakan kesenjangan yang paling radikal. Bahkan dalam satu lingkaran trah politik dapat bercokol menguasai dua ranah kekuasaan sekaligus, menggurita ke lini legislatif dan eksekutif.
Mereka bak diktator gila yang sangat bernafsu agar dipandang sebagai warga negara superior, menguasai segalanya secara rakus tanpa menjunjung harkat dan martabat manusia lainnya. Terlebih, mereka menari usai membodohi masyarakat dan memamerkan kekayaan yang tidak wajar.
Itulah mengapa sentilan John Keane sangat nyelekit, terutama bagi mereka yang menyandang status quo harus lebih merasa, bahwa despotisme dipahami sebagai corak kekuasaan yang tidak terkendali, tetapi neo-despotism justru lebih beragam, licik, dan canggih.
Di Maluku Utara, neo-despotism itu menggunakan model “perbudakan elektoral”, pelakunya datang berkhotbah di tengah masyarakat, menyalurkan sembako, memberi santunan, bahkan mengandalkan kesalehannya agar dikultuskan sebagai pemimpin/calon pemimpin yang baik.
Sungguh, ini cara-cara licik sebagaimana terjentik dalam lintasan pikiran Keane. Budak-budak elektoral telah didogmatisasi, mudah diprovokasi oleh isu-isu artifisial, hanya sebagai alat konsolidasi kekuasaan, yang sesungguhnya merugikan mereka secara jangka panjang.
Kekuatan trah politik selama 24 tahun Maluku Utara, walau serendah apapun kualitasnya, rantai kekuasaan terus digenggam. Ada gubernur yang sepuluh tahun lamanya berkuasa, ada bupati yang baru lima tahun, ada yang menjadi wakil rakyat lebih dari dua periode di tingkatan yang berbeda, ada yang pernah di legislatif hendak beralih mata pencaharian di ranah eksekutif, sebaliknya eksekutif ke legislatif.
Dan, ketika semua itu akan tiba di batas akhir, mereka mendorong anak-anaknya, istrinya, ponakannya, sepupunya, termasuk yang dalam hubungan semendanya. Mereka semua muncul secara dadakan, tanpa proses kematangan ideologi yang jelas, bahkan dipelihara lewat ormas, partai politik, sebagai pegawai honorer, kontraktor atau wadah maupun profesi lainnya.
Mestinya, ada kesadaran publik Maluku Utara modern, penyebutan ini sebagai upaya mencoret kultur “tabea” kepada kekuasaan yang dianggap lebih santun, saleh dan tidak korup. Publik Maluku Utara modern ialah masyarakat yang dihidupkan oleh rasionalitas politik, mengedepankan jiwa kritis, dan lebih canggih cara pandangnya, serta berani menolak rayuan kelompok pro oligarki.
Karena itu, menguatnya neo-despotism dan mata rantai trah politik abal-abal yang terwariskan secara temurun telah menjadi catatan harian yang harus kita sobek. Caranya sederhana, setop memuji kegagalan demi kegagalan mereka menavigasi Maluku Utara selama ini Daerah ini dimekarkan bukan merekahkan pemimpin yang despot, tetapi semua harus sejahtera, semua harus setara. Ngana, kita, torang samua! (*)