Opini  

Dilema Gender dan Politik Maluku Utara

Muhammad Rifdi Umasangadji.

Oleh: Muhammad Rifdi Umasangadji

REFLEKSI 24 Tahun Maluku Utara, Perempuan Dalam Pembangunan.

“Perempuan melekat potensi dan status ibu, mampu merawat benih kasih anak manusia, sejak dalam kandungan hingga buaian adalah sosok penyelamat dan menyelamatkan” (Muh. Rifdi Umsangadji).

Dinamika politik Indonesia nampak masih kesulitan menerjemahkan gender pada tempat yang lebih wajar, hal ini karena penerjemahan politik gender melupakan cita rasa, alpa akan ingatan terhadap pengalaman-pengalaman gemilang, lalu mengikuti ego, agitasi-agitasi busuk yang digembar-gemborkan pihak lawan.

Ini kemudian memperlihatkan jika pertautan pikiran, emosi politik rakyat alami pertentangan yang mencirikan diskriminasi masih menjadi gejala umum, watak patriarki menyelimuti alam pikir rakyat dalam menentukan pemimpin, sehingga dampak pada kenyataan politik ialah perempuan terus menjadi sasaran subordinasi.

Karena itu tak sedikit citra politik gender di Indonesia menunjukan betapa kontestan politik, khususnya sebagian politisi laki-laki dalam skala regional menjadikan kerangkeng kultural sebagai isu menjatuhkan para perempuan tatkala berhadapan di pemilihan, baik legislatif, eksekutif.

Dimulai dari tingkat desa hingga provinsi bahkan pusat sekalipun, politisi perempuan belum lega hadapi isu kultural ini, membuat perempuan terus memperjuangkan hak[1]hak gender, agar bisa merdeka dari sesaknya nafas inferior  (manusia kelas dua) .

Seperti dalam karya Illich tentang Matinya Gender (Ivan Illich, 1982 : 1), mengetengahkan bahwa masyarakat industrial menciptakan dua mitos, yaitu antara leluhur seksual dan gerakan masyarakat ke arah kesetaraan gender.

Kedua mitos tersebut disingkap sebagai dusta-dusta manusia yang tergabung dalam jenis kelamin nomor dua.

Disamping itu, meski sudah ada pengetahuan yang berlipat ganda di relung terdalam pikiran rakyat Indonesia, bahwa sosok pemimpin yang berhasil membawa perubahan bukan terlahir berdasarkan jenis gender, laki-laki atau perempuan.

Akan tetapi posisi elektorat dilematis mengaktualkan kesadaran tentang pengetahuan tersebut. Lalu, dengan kesewenangan lelaki berwujud misogini (Pembenci perempuan) dalam politik memperkosa tulip-tulip pemimpin berkualitas yang sedang bermekar.

Lebih parahnya mempergunakan konstelasi kultural berasaskan agama sebagai pemberi legitimasi jika perempuan tak layak memimpin, ironi ini menjadi rahasia umum yang tak lebih dari kepongahan, kepicikan politikus gender laki-laki. Sebab gender bagi karya Ivan Illich (1982: 53) diatas, adalah sesuatu yang lain dan lebih dari sekedar jenis kelamin.

Mengenai pemimpin berkualitas, bukan posisi gender dalam status sosial, didedah pada buku bertajuk Bintang Arasy (Said Muniruddin, 2014: 3) dimana kualitas pemimpin adalah sumber daya insan yang menjadi kunci kemajuan sebuah bangsa, ciri umum pemimpin kualitas yaitu visioner (berpandangan maju ke depan), berpengetahuan luas, memiliki kepedulian dan keberanian mental untuk membawa perubahan mendasar bagi bangsa dan daerahnya.

Keberadaan pemimpin yang demikian sangat sentral bagi sebuah bangsa. Dalam pada itu Said Muniruddin mengutip perkataan Imam Ali bin Abi Thalib, “Pemimpin yang adil meskipun kafir lebih baik, daripada pemimpin yang beragama Islam tapi dhalim”.

Karena menurutnya, adil merupakan salah satu nilai universal yang menjadi penentu kemajuan dan kesejahteraan sebuah bangsa, adil mengandung visioner, rasa peduli dan mentalitas untuk semakin hari semakin baik atau ihsan.

Selain itu dikatakan Said Muniruddin jika rakyat sebagai elektorat juga diharuskan berkualitas, dimana karakter rakyat seperti ini adalah manusia-manusia yang memiliki perencanaan hidup, disiplin diri yang tinggi, serta punya strategi dan taktik perjuangan untuk memajukan diri dan bangsanya.

Dimana rakyat yang cerdas akan mampu menguasai, mengatur, dan memanfaatkan potensi secara efisien, efektif. Bukan sebaliknya, boros, dikuasai dan diperbudak oleh alam disekitar dan penguasa yang pongah.

Maka kualitas rakyat dengan kecerdasan mampu bertindak adil, memberikan kontrol yang baik atau chek and balance(mengontrol dan menyeimbangkan kekuasaan) terhadap pemerintah. Karakter rakyat demikian akan melakukan perubahan, inovasi dan perbaikan masyarakat.

Berkenaan dengan itu, di Maluku Utara terdapat fakta politik yang ternyata mendeskripsikan keberhasilan para pemimpin perempuan ketika berada di bangku kekuasaan, hal ini bisa dilihat mulai dari struktur kekuasaan yang dipegang perempuan di tingkat desa, kabupaten, provinsi bahkan pusat, baik dalam kekuasaan eksekutif dan parlemen.

Sebagai representatif, dapat disebutkan Irine Yusiana Roba Putri dan Alien Mus selaku anggota DPR RI daerah pemilihan Maluku Utara yang tampak getol menyuarakan segala kepentingan daerah, meliputi aspek pendidikan, pertanian, infrastruktur fisik berupa jalan, jembatan dan lainnya. Salah satu potret kepedulian ditonjolkan Irine terlihat ketika dirinya mengikuti rapat-rapat dengan kementerian.

Dilansir dari media Gesuri.id  bahwa dalam Rapat Dengar Pendapat antara DPR-RI dengan Kementerian Perhubungan Republik Indonesia, Irine Putri Roba menyampaikan aspirasi masyarakat sebagai hasil dari kunjungan kerjanya.

Kepada Dirjen Perhubungan Laut, Irine menyampaikan desakannya untuk merehabilitasi infrastruktur Pelabuhan Semud Mangga Dua, karena menurutnya pelabuhan tersebut merupakan salah satu terminal keberangkatan untuk menyeberang ke Pulau Halmahera, masih banyak lagi pemberitaan mengenai Irine dan perjuangan Maluku Utara di Senayan.

Sosok Irine juga menjembatani sejumlah rakyat Maluku Utara mendapatkan Program Indonesia Pintar, yang langsung disalurkan oleh dirinya kepada 12 Sekolah di Ternate. Adapun perjuangan Irine yang lain dapat dilihat dalam berbagai catatan digital.

Sezaman dengan Irine, dapat disentil peran Alien Mus anggota DPR-RI dapil Maluku Utara yang tampak lugas memperjuangkan kepentingan daerahnya, fokus Alien pada bidang pertanian. Dihadapan Kementerian Pertanian, Alien menyampaikan agar kementerian tersebut dapat membeberikan bantuan fisik dan bimbingan teknis kepada para petani di Ternate dan Tidore.

Dapat dikatakan penyambung lidah rakyat seolah nyata di bibir elok dua perempuan Maluku Utara tersebut, keduanya merupakan sepasang perempuan yang mampu merobek stigma-stigta negatif kaum laki-laki disertai konstruksi budaya patriarki. Irine dan Alien membuktikan jika mulut perempuam lebih mewakilkan kepentingan perasaan, cita rasa dan cita-cita segenap rakyat yang diwakilinya.

Menempati posisi eksekutif patut diangkat disini Bupati Kabupaten Kepulauan Sula Fifian Adeningsih Mus, Sebagai tokoh perempuan pertama memimpin posisi eksekutif di Provinsi Maluku Utara cukup memberikan tersebosan-tersebosan baru pada kabupaten yang dipimpinnya.

Dilihat dari jejak digital kepemimpinan perempuan yang menaruh kepedulian berbasis keberanian mental dan visioner membawa perubahan tampak mencirikan sosok pemimpin yang betul-betul memimpin untuk perubahan.

Sejalan dengan itu Ahmad Dahlan Ranuwihardjo (2000: 3) dalam karyanya Menuju Pejuang Paripurna menjelaskan, memimpin pada umumnya adalah menghadapi dan harus menemukan jawaban atas persoalan-persoalan baru.

Oleh karena itu memimpin identik dengan merintis jalan perubahan atau pembaharuan. Meski demikian percaturan politik lokal bagi perempuan Maluku Utara tidaklah mudah seperti dibayangkan, karena perempuan kerap menghadapi tantangan kultural yang tiada henti, setiap momen masalah ini muncul mengitari.

Dimana rakyat selaku elektorat yang telah sadar akan keberhasilan-keberhasilan pemimpin perempuan dihadapkan dengan kondisi yang dilematis antara kecenderungan untuk memilih perempuan di pentas demokrasi politik, disatu sisi dipaksa oleh agitasi-agitasi dan mesin propaganda kalangan misogini yang menjadikan kultural sebagai isu politik.

Anthony Giddens (2000: 57) dalam karya bertajuk Jalan Ketiga Pembaruan Dekomrasi Sosial, mengatakan penempatan isu-isu ekologis dan isu lainnya termasuk isu gender dalam ruang politik, dikarenakan adanya penurunan kepercayaan terhadap para politikus dan cara kerja politik ortodoks, seperti yang terjadi di sebagian besar negara industrial.

Terlepas dari itu perempuan yang melekat potensi dan status ibu, mampu merawat benih kasih anak manusia, yang sejak dalam kandungan hingga ditimang-timang menjadikan perempuan adalah sosok penyelamat dan menyelatmatkan.

Hal ini sejalan dengan buah pikir bapak Proklamator dalam karyanya Di Bawah Bendera Revolusi (Ir. Soekarno, Cetakan Pertama 1959: 97), menjelaskan jika kaum laki-laki masih banyak yang mengira bahwa perjuangannya mengejar keselamatan nasional bisa juga lekas berhasil berkat sokongan kaum ibu.

Disamping itu, juga masih belum banyak tertanam keyakinan bahwa tiada keselamatan nasional bila tidak terpikul oleh keselamatan kaum bapak dan kaum ibu, dan bahwa keselamatan nasional yang demikian itu adalah keselamatan nasional yang pincang.

Bung Karno mengomentari perihal ini saat kongres kaum perempuan pada 22 Desember 1928, dikatakannya bahagialah kongres kaum ibu, maka bangsa sangatlah bergembira hati, karena kaum bapak masih banyak yang kurang pengetahuan akan harganya sokongan atau dukungan kaum ibu.

Namun tidak saja bergembira hati akan kongres tersebut, dikarenakan kaum laki-laki belum insyaf akan keharusannya dalam menaikan derajat kaum perempuan. Disamping itu atas terselenggaranya kongres tersebut, karena kalangan perempuan sendiri juga belum banyak yang mengetahui atau menjalankan kewajibannya ikut menceburkan diri didalam perjuangan bangsa, disatu sisi belum banyak yang berkehendak terhadap kenaikan derajat kaum perempuan.

Lebih lanjut, Soekarno juga menyadari jika adat-istiadat yang berabad-abad, adat[1]istiadat yang sudah berurat akar adalah menyebabkan banyak kaum perempuan bangsa Indonesia tak memikirkan soal kenaikan derajat, malahan ada yang memusuhi usaha kenaikan derajat perempuan.

Menurut Soekarno, agama Islam yang asli tidak merendahkan derajat kaum perempuan bahkan mempunyai tokoh-tokoh perempuan yang ternama dan termasyhur, yang adalah Fatimah Az-zahrah, yang kerap kali ikut duduk berunding tentang soal-soal yang penting. Ada juga Zubaidah permaisuri Harun Al-Rasyid yang menopang secara finansial perjuangan membuat jalan air di Mekkah dan mendirikan kembali Kota Alexandria sesudah kota tersebut dilebur oleh bangsa Griek,  Dikatakan Soekarno, laki-laki dan perempuan adalah sebagai dua sayapnya seekor burung, yang jika dua sayap itu dibikin sama kuatnya, lantas terbang menempuh udara sampai ke puncak kemajuan yang setinggi-tingginya.

Maksud dari tulisan ini, menuntut supaya semua pintu harus dibuka seluas-luasnya untuk kalangan perempuan dalam menuntut persamaan hak dan persamaan derajat di pentas sosial-politik.

Oleh sebab itu kerangkeng kultural yang digunakan kaum politis laki-laki mesti dibantah dengan alasan masuk akal, karena catatan keberhasilan peran perempuan saat memimpin cukup mencengangkan. Akhirnya pihak elektorat mesti kukuhkan kecenderungan, buanglah dilema demi perubahan, karena masa depan harus direncanakan atas disiplin diri dan taktik perjuangan. (*)