Oleh: Basri Amin
Parner di Voice-of-HaleHepu
KEPADA (aktivis) mahasiswa di kota Ternate, saya berulang kali merasa malu dan salut. Mereka selalu punya ide segar meski sering dirasa aneh oleh publik. Suara protes mereka seperti tak pernah habis. Suatu ketika, ada di antara mereka yang menggugat sistem drop-out (DO) di pengadilan. Ada-ada saja tingkah dan pandangan mereka.
Banyak yang memilih aktif di LSM, bekerja sebagai wartawan, juga terlibat menjadi “seniman komunitas”, mendirikan media online, kafe, distro, galeri seni, dst. Bahkan ada beberapa kelompok yang menjadi penggerak pariwisata pulau dan advokator di bidang lingkungan. Juga ada yang mengelompok menjadi peneliti/penulis yang serius. Yang lain ada yang bergabung menjadi “pengawal tradisi” di Kraton/Kesultanan.
Tingkat kegelisahan kaum muda berbeda-beda di setiap zaman dan tempat. Aspirasi mereka tentang “perbaikan nasib” manusia juga tak selamanya menjadi arus utama. Di baca dari sudut pandang masa kini, mahasiswa tidak lagi menjadi kekuatan yang (mampu) memaksa perubahan. Pada beberapa kasus, “suara moral” mereka dengan mudah dipatahkan oleh otoritas yang hegemonik. Sebuah otoritas yang dibangun di atas perselingkuhan antara pragmatisme (kemapananan) hidup dan kesadaran (pengetahuan) palsu yang terpukau kepada janji-janji.
Mahasiswa adalah kelompok sosial paling gelisah nalar solidaritasnya dan yang paling spontan moralitasnya. Ia punya martabat besar menjadi pembaru di masyarakat. Gagasan-gagasan besar selalu mereka rayakan. Bacalah Catatan Seorang Demonstran, karya Soe Hok Gie (LP3ES, 1983), kumpulan tulisan Ahmad Wahib, Pergolakan Pemikiran Islam (LP3ES, 1981) atau catatan harian mahasiswanya Yozar Anwar, Angkatan ’66 (Sinar Harapan, 1981). Setara dengan pola seperti itu, puluhan tahun kemudian, kita juga bisa menemukannya melalui Anak-Anak Revolusi-nya Budiman Sudjatmiko (2013).
Baik di Indonesia, Amerika Latin, China dan Hong Kong, narasi tentang “mahasiswa” selalu mengharumkan cita-cita demokrasi. Meski tak semua (mahasiswa) tampil di depan mikrofon dan berdiri di podium “perlawanan”, tapi jiwa mereka disatukan oleh marwah kebebasan dan obyektifitas pengetahuan.
Unik memang, karena dalam fakta praktisnya mahasiswa justru “dikurung” oleh banyak ritus per-kuliah-an dan kehidupan keseharian yang menuntut waktu, konsentrasi belajar dan biaya. Tapi, sebagaimana selalu dibahasakan oleh mahasiswa, bahwa “jika keadilan dicampakkan kekuasaan dan jika demokrasi dilemahkan di masyarakat”, mahasiswa akan selamanya hadir-terpanggil bergerak dan melawan.
Mahasiswa, menurut pengalaman generasi ’66, sebagaimana dipantulkan Yozar Anwar, adalah pemegang “amanat penderitaan Rakyat!”.
Mahasiswa identik dengan “gerakan demokratik” yang berani. Bagi mahasiswa hari ini misalnya, mereka masih bisa menyerap jiwa gerakan-gerakan kemahasiswaa di masa lalu —misalnya Angkatan ’66, ’74, ‘78’ atau Angkatan ’98– melalui sejumlah saluran online yang tersedia. Heroisme “mahasiswa ’98” melahirkan Generasi tersendiri.
Sebagian besar di antara generasi tersebut kini sudah menduduki banyak posisi penting di negeri ini. Di media, kita kerap melihat mereka “bersilat lidah” satu sama lain –terutama karena perbedaan afiliasi politik–.
Terbukti bahwa “idealisme mahasiswa” berlaku universal pada zamannya masing-masing. Idealisme itu tidaklah otomatis akan terbawa dan dibuktikan sepanjang hayat. Buktinya sederhana. Bukankah hampir semua elite kita di panggung kekuasaan adalah “mantan mahasiswa?”
Ketangkasan mereka di panggung aksi dan di ruang-ruang publik sudah terbina sedemikian rupa sejak mereka mahasiswa. Dua kata kunci yang mereka selami sepanjang kemahasiswaannya yaitu “strategi” dan “taktik” –bersama-sama dengan kata-kata majik lainnya: gerakan, perlawanan, “hidup mahasiswa”, lawan!”, dst.
Mahasiswa bergerak bersama-sama dengan sejarah demokrasi, persamaan hak manusia, dan perlawanan kepada kezaliman. Mereka dengan mudah memihak kepada ketidakadilan. Mereka benci kepada otoritarianisme. Mereka solider kepada yang lemah. Mereka sangat sadar terhadap ketimpangan. Mereka merebut cita-cita kebebasan dan kemerdekaan.
Di balik ini semua tertanam-kokoh nilai-pengikat (identitas) kemahasiswaan, yaitu sejarah dan organisasi. Di balik itu lagi, tertanam universalisme nilai-nilai ilmu pengetahuan dan moralitas kemanusiaan yang mereka pelajari, yakni tentang obyektifitas, kebenaran dan kejujuran –dalam nalar, nurani dan sikap–.
Di ruang-ruang kelas dan di kuliah-kuliah mereka, termasuk dalam perjumpaan keseharian mereka di kampus-kampus, terbentang teks-teks pembaruan yang menopang penyadaran tentang fakta-fakta kehidupan manusia, tentang sejarah masyarakat (lintas bangsa) dan sandaran-sandaran moral tentang semesta, penciptaan-penciptaan dan pengujian-pengujian saintifik di berbagai belahan dunia.
Di kampus, semua gejala yang ada “dibuka” lebar-lebar di dalam buku-buku dan di jurnal-jurnal dan media, dari kuliah yang satu ke kuliah yang lain, dari pengajar yang satu ke pakar yang lain, dari laporan riset yang satu ke laporan yang lain. Dari abad ke-10 sampai ke abad ke-21. Semua itu ditemukenali dan dipahamujikan di ruang-ruang baca dan laboratorium.
Tradisi bertanya-mempertanyakan (sesuatu) yang serius, menyusun, menghubungan, membeda-bedakan dan “membongkar” semua kemungkinan yang ada di setiap subject-matter (pengetahuan) merupakan sesuatu yang dikerjakan setiap waktu. Itulah identitas utama universitas dan seperti itulah komitmen warganya, sebagaimana Karl Jaspers (1965) tegaskan dalam karya klasiknya di Heidelberg, Die Idee der Universität (1959): loyalitas kepada kebenaran…”.
Basis pengetahuan yang benar memang selain menyadarkan juga menggerakkan. Suara harapan kemanusiaan dinyaringkan seluas-luasnya di universitas. Pencarian kepada hal-hal mendasar –the why dan the how— adalah latihan abadi bagi masyarakat ilmiah. Baik kapada yang kasat-mata, yang fisikawi dan kimiawi, maupun yang nir-fisik (metafisika), keduanya adalah domain yang syah dipelajari di universitas. Demikian pula tentang yang aktual/sosial dan yang spiritual, semuanya adalah tema-tema pelajaran/kajian mahasiswa.
Jika kita cermati jumlah jurusan/program studi/departemen dan pusat-pusat unggulan di kampus-kampus kita saat ini, kita akan tahu betapa luasnya bidang pengetahuan/pencerahan yang tengah dijalani mahasiswa-mahasiswa kita. Jika kita periksa subyek kuliah-kuliah mereka, betapa banyaknya ilmu yang menantang nalar dan nurani mereka.
Jika demikian, apakah mahasiswa akan benar-benar sukses mengemban tugas-tugas peradabannya di masyarakat? Sebuah pertanyaan yang berlebihan. Mahasiswa adalah “usia yang pendek”. Heroismenya yang menyala hanya berlaku sekitar empat atau lima tahun. Sisanya adalah usia karier dan mimpi-mimpi hidup yang lain. Ia akan terus memberi pengaruh karena ia berjalan bersama dengan spirit ilmu pengetahuan dan moralitas masyarakat. (*)
Penulis adalah Parner di Voice-of-HaleHepu.
Mahasiswa di Universitas Sam Ratulangi (UNSRAT), Manado, (1992-1996)
E-mail: basriamin@gmail.com