Opini  

Candu Politik dan Politisasi Anak Muda

Oleh: Chrisvanus Th Lahu
Mahasiswa Manajemen Universitas Khairun 

___

NARASI politik dinasti dari cerminan manuver Gibran dan Kaesang mungkin bukan menjadi topik utama saat ini walaupun polemik hangatnya masih tentang hal itu. Di momentum Sumpah Pemuda ke 95 tahun, semangat persatuan dan perjuangan kaum muda kembali dikumandangkan dan banyak nilai yang ditarik kembali sebagai bahan refleksi semangat juang saat ini.

Kala itu dengan visi besar, pemuda bersatu menggelorakan semangat pergerakan meruntuhkan imprealisme. Dari refleksi perjuangan panjang yang dilalui, ada statement fenomenal yang dilontarkan Ir Soekarno setelah Indonesia mencapai kemerdekaan yaitu “Perjuanganku lebih mudah karena melawan penjajah dan perjuangan kalian lebih sulit karena melawan bangsa sendiri”. Sebuah ramalan yang nampak sangat tepat jika dikontekskan dengan kompleksnya dinamika dan perseteruan di berbagai aspek dalam negeri ini. Menariknya, anak muda kini dijadikan komoditas juga aktor utama terhadap berbagai macam perseteruan juga tidak terlepas dengan dinamika politik saat ini.

Beberapa bulan lagi momentum besar telah menanti kita yaitu Pemilu tahun 2024. Dalam kontestasi bergengsi ini, pemerintah berupaya mencari prestasi dan gebrakan baru soal pola dan wajah baru demokrasi kita yang berbeda dari sebelumnya, sementara nuansa politik ini terbilang cukup menantang dan mengancam karena tingkat kerumitan yang cukup tinggi serta biaya operasional Pemilu yang cukup fantastis kata Jusuf Kalla. Di lain sisi, semua politisi menyiapkan strategi politiknya masing-masing dengan melanggengkan berbagai cara dan tak lazim anak muda dipakai sebagai ujung tombak dan komoditas politik yang renyah diperdagangkan.

Saya merasa tertarik melirik bagaimana “Politik” menjadi isu paling menarik dibicarakan dan pemuda menjadi produk paling ideal yang dipromosikan partai sebagai komoditas unggul era kekinian (Politisasi Anak Muda). Sementara terlihat kontribusi pemilih muda di usia 17 hingga 39 tahun (Generasi Z dan Milenial) di angka 165 juta atau 54 persen (KumparanNews 2023), sebuah angka yang fantastis dan menjadi barometer kemenangan pada skala nasional maupun regional. Anak muda yang cenderung menjadi pengamat politik yang baik dan menjadi agen perubahan, memberikan pendidikan politik, mampu menetralisir konflik akar rumput hingga menepis berbagai indikasi kerawanan dalam Pemilu, tentu menjadi hal yang patut diapresiasi karena kecilnya kontribusi anak muda yang melakukan hal-hal demikian.

Sayangnya, sebagai pengamat politik juga peserta pemilu di kalangan anak muda kerap kali emosional dalam membahas hal-hal kepemiluan dan perpolitikan, apalagi soal rivalitas tanpa ada dasar pendidikan politik yang kuat serta data yang konkrit menjadikan mereka candu dan rentan terhadap konflik sosial akibat pemahaman politik yang sangat lemah. Fenomena candu politik saat ini sangat mendominasi sampai menyentuh akar rumput dengan tendensi yang cukup berlebihan dan mengancam keutuhan serta kekeluargaan di masyarakat paling bawah. Fenomena lazimnya, terlihat di berbagai platform sosial media, di tongkrongan, di keluarga atau bahkan di lembaga-lembaga independen yang seharusnya jauh dari pembahasan politik, malah dijadikan objek paling sering untuk membicarakan berbagai hal terkait dengan politik dengan maksud konsolidasi terselubung.

Soal kajian figur pemimpin ataupun edukasi politik, tentu sangat lumrah dan wajib untuk dilakukan dengan kondisi yang mengancam ini, tetapi yang kini paling populer adalah tindakan menyebarkan berita bohong (hoax), saling memprovokasi dan konsolidasi yang tidak sehat kerap dilakukan dan subjek serta objeknya adalah anak muda sendiri. Karena itu, keterbatasan pendidikan politik dan kualitas SDM yang rendah tentu akan menjadi ancaman yang cukup serius jika tidak diantisipasi dari sekarang, karena banyak anak muda yang sangat rentan dengan money politik serta dijadikan alat perpecahan di masyarakat karena ditunggangi dengan berbagai kepentingan besar di belakangnya.

Di sisi lain, banyak anak muda yang terjun ke dunia politik yang memiliki dasar yang kuat dari segi kompetensi dan kapabilitas serta finansial yang kuat justru membuat demokrasi kita semakin baik dan bisa menggantikan visi misi dan kebijakan-kebijakan klasik dengan visi misi dan kebijakan yang kreatif serta sesuai dengan perkembangan zaman.  Namun, fenomena yang coba saya tuangkan dalam tulisan ini adalah banyak anak muda yang terlalu dini (menurut amatan saya) menaruh pilihan sebagai politisi muda tanpa menyiapkan bekal yang matang serta visi yang besar dalam tugas perwakilan rakyat yaitu fungsi legislasi, fungsi anggaran dan fungsi pengawasan. Fenomena tersebut sama seperti bermain trading dengan deposito besar untuk mencari keuntungan, Jika pasar sahamnya baik, maka kita akan menang besar dan jika pasar sahamnya buruk, maka kita akan mengalami kerugian besar.

Hal ini karena partai politik mencari anak muda yang energik dan populer serta kuat finansialnya untuk mendongkrak popularitas dan elektabilitas partai dan kurang melirik soal kapabilitas dan kompetensi yang dimiliki, sehingga jika tidak memiliki modal yang cukup dari segi finansial dan popularitas, maka kita hanya akan menjadi ikon yang diasingkan partai bahkan karier yang mati karena tidak bisa lagi terjun di lembaga negara atau lembaga independen lainnya. (*)