Oleh: Fikri Irwan
___
PENULIS ingin memulainya dengan pepatah Buddhisme yang kiranya benar.
“Orang yang menyimpan dendam itu seperti orang yang memegang bara api di tangannya, dan ingin melemparkan itu ke orang lain. Orang yang dendam itu terluka dahulu bahkan sebelum ia menyakiti orang lain”.
Pepatah di atas kiranya jadi bahan rangsangan jiwa agar kiranya menuai pemahaman berpikir. Singkatnya, dendam merupakan sikap atau perasaan ingin menuntut balas. Hal ini tak sesuai dengan kode etik sosial, mencapai hidup harmonis lagi damai. Penulis ingin mengajak pada kita semua khususnya diri sendiri agar tidak terbawa suasana. Hal demikian, penulis maksud sebagai “mendidik dendam” untuk upaya tampilan cara hidup yang terarah pada “budi pekerti”.
Wacana humanisme sedikit dipoles untuk memenangkan pemahaman orang-orang. Seakan dimengerti tak berlainan. Dengan menyatukan perilaku buruk yang dapat memupus sisi kemanusiaan. Menampilkan makna keabsahan hukum moralitas yang bukan bersebelahan, melainkan perlakuan yang amat kolot dipraktekkan.
Jalan hidup manusia tidak selalu sesuai dengan kehendaknya. Setiap ikhtiar dalam hidup amat kuat dijalani kadang-kadang menampilkan perasaan yang universal. Olehnya, suatu upaya atau tindakan kerap kali dilakukan sesuai emosi pada waktu yang dijumpainya. Sebagai perumpamaan, cara dan perilaku hidup berlainan dari nilai-nilai moralitas dan lebih mengedepankan apa yang menjadi rangsangan jiwanya (ego), tentu penuaian dalam hidup bermasyarakat pasti bukan dalam tampilan yang ramah. Jelas bahwa kita seharusnya hadir dengan tampilan baru juga baik, guna mendukung kehidupan yang jauh dari pertikaian untuk hidup yang sehat lagi bermartabat.
Pengetahuan merambat dengan cepat. Itu mendukung upaya pembaruan termasuk memungkinkan alat-alat yang lebih modern hadir, semua itu kiranya jadi hajat bersama. Olehnya, kehadiran itu adalah bukti kongkrit kalau pijakan pengetahuan yang berkembang mampu melampaui semua kadar yang tampak pada zaman sebelumnya. perkembangan itu juga sedikit melukai kewarasan dan nilai-nilai kemanusiaan.
Adapun media massa memberlakukan ruang privatisasi manusia ke dalam ruang transparan yang bersifat transformasi. Sebagai penguatan itu bisa dilihat pada lingkungan sekitar kita. Contoh, konflik yang dikabarkan melalui media-media sangat gesit untuk pemberitaan soal pertentangan antara Gaza dan Israel. Hal itu, menuai respons yang berpihak pada identitas kelompok-kelompok. Lupa meneropong sisi kemanusiaan yang sangat dominan.
Reflektif Kemanusiaan
Zaman semakin laju menaungi samudera, semua kadar dan batas aturan mengenai reflektif kemanusiaan tergolong dalam satu media. Mengenal dan memahami lebih jauh bagaimana mendidik dendam di ruang-ruang khusus untuk mencegah nilai dan sisi kemanusiaan mati di tangan ego tanpa kompromi. Bunyi rupa dan sifat-sifatnya yang mengajak. Daratan Palestina menjadi cerminan, untuk memahami keasliannya, sebuah dorongan cenderung mengajak untuk sedikit menoleh nasib orang-orang (kemanusiaan) yang butuh belas kasihan. Dengan begitu, nurani kita tampil mesra dan mengajak, seakan-akan memanggil untuk kembali pada wujud kebenaran yang asli. Tanpa ada konflik yang menghilangkan banyak nyawa dengan tidak terhormat, dan melontarkan bahasa sarkasme hanya untuk memihak kelompok-kelompok.
Tentunya, ajaran pedagogis menolak hukum moral dan hukum alam bersama. Moral yang mengangkat derajat manusia sebagai makhluk tuhan yang mulia. Orang yang terbawa dengan pembiasaan ini, berharap dunia memahami perbuatannya dan mentoleransi perilakunya. Padahal, sifat-sifat itu dapat memojokkan kemanusiaan dalam ruang yang samar dan barangkali mengakhiri derajat tingginya.
Studi kemanusiaan yang akan saya bahas adalah sedikit kesadaran. Mungkin kita sudah lihat banyak video dan tulisan yang ditampilkan, bahkan banyak ilustrasi yang kiranya menjadi gambaran tentang tindakan amoral yang memupus hingga ke ruang humanisme. Walaupun sudah terjadi, tidak menutupi diri untuk berbenah ke arah perdamaian. Mungkin itu lebih baik. Pembaca yang Budiman, saling memborbardir dan menghilangkan nyawa dengan tidak terhormat merupakan kejahatan besar.
Kadang-kadang praktik yang berujung pada konflik eksternal, sebut saja gejala-gejalanya sudah tampak jelas terlihat. Untuk itu, kita hanya butuh kesadaran semua agar kian kuat menjaga kemanusiaan hadir dan tumbuh di tengah-tengah kita dan tidak mengkerdilkan golongan atau bangsa lain. Olehnya, kita lihat apakah konflik mendukung proses humanisasi atau malah melanggengkan tatanan yang dehumanisasikan makhluk manusia.
Penulis ingin menutup dengan satu bahasa penyadaran. “Anda tidak perlu menjadi muslim untuk membela Palestina, cukup dengan menjadi manusia”. Tapi, jalan kebijaksanaan bukan pembelaan melainkan perdamaian. Artinya kita meneropong human pada tiap-tiap orang. (*)