Opini  

Politik Gagasan: Sebuah Keharusan Menuju Pemilihan Legislatif 2024

Oleh: Subhan Hi. Ali Dodego
Pegiat Politik Gagasan

___

SETELAH penetapan dan pengumuman daftar calon tetap anggota DPRD Kabupaten Halmahera Utara pada tanggal 4 November 2023 maka pemilihan legislatif tinggal dihitung hari. Pertanda pemilihan umum sudah di depan mata. Gong pertarungan sudah diketuk dan pertandingan segera dimulai pada 14 Februari 2024. Untuk kepentingan itu, pelbagai persiapan dan perlengkapan pun kerap kali dikukuhkan oleh KPU, Bawaslu hingga para peserta pemilu.

Yang menjadi pertanyaan adalah sudahkah para peserta pemilu atau para caleg mempersiapkan diri untuk menghadapi pemilu, pasca pemilu hingga mereka dilantik sebagai anggota DPRD Kabupaten Halmahera Utara? Bagaimana rekam jejak (track record) para caleg? Apa gagasan yang ingin dibawa dan diperjuangkan para caleg? Pertanyaan ini akan dianalisis dan dijawab lewat artikel sederhana ini.

Secara normatif fungsi dari DPRD terdiri atas tiga yaitu fungsi membuat peraturan daerah (legislasi), fungsi anggaran dan fungsi pengawasan. Fungsi DPRD ini kemudian diturunkan (dibreakdown) ke kinerjanya ketika berada misalnya di komisi satu, dua atau tiga. Jadi, hal utama yang perlu dipahami oleh para caleg adalah mengetahui fungsinya. Sehingga setelah didaulat oleh rakyat dan dilantik jadi anggota DPRD dapat berjuang sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya.

Namun sayangnya, tidak sedikit para caleg pada saat bersosialisasi dan kampanye tidak menjelaskan secara terperinci mengenai fungsi dari anggota DPRD kepada masyarakat. Padahal menjelaskan fungsi dari DPRD menjadi tanggung jawab para caleg untuk memberikan pendidikan politik kepada masyarakat. Sehingga masyarakat dapat memahami apa kerja-kerja politik dari wakil mereka.

Pada banyak kasus kita temukan janji-janji surga politik para caleg. Mulai dari ketika dia terpilih akan membangun jalan, jembatan, listrik, jaringan, membangun rumah ibadah, memberikan bantuan sembako dan berbagai janji surga politik yang lainnya. Dan lebih para lagi adalah para caleg melakukan politik uang atau transaksi dengan masyarakat saat pemilu. Setelah dia terpilih, apa yang terjadi? Semua tidak terbukti yang ada hanya memberikan surga telinga untuk masyarakat. Pada akhirnya masyarakat pun kecewa dan marah.

Lalu salahnya dimana? Kesalahannya terletak pada janji-janji surga politik dan melakukan politik transaksional para caleg ini. Seharusnya para caleg pada saat sosialisasi dan kampanye perlu memberikan pendidikan politik dan menawarkan program kerja konkret yang selaras dengan komisinya ketika berada di DPRD. Dan yang tak kalah penting adalah sosialisasi dan kampanye tolak politik uang. Setelah para caleg ini terpilih kemudian reses dia wajib menyampaikan kerja-kerja politiknya selama lima tahun itu seperti apa misalnya ketika dia berada di komisi A, B atau C.

Selanjutnya, mengenai misi atau gagasan dari calon anggota DPRD. Gagasan atau pemikiran ini sangat penting untuk menyelesaikan pelbagai macam persoalan yang terjadi di daerah. Sehingga dalam setiap momentum pemilu para kandidat caleg perlu introspeksi diri apakah dirinya mampu atau tidak dalam mengemban daulat rakyat. Begitu pun masyarakat perlu mempelajari rekam jejak dari para caleg, masyarakat perlu mengetahui dan memahami apa gagasan dan misi yang dibawa oleh para caleg.

Pemilu dilaksanakan setiap lima tahun sekali. Oleh karenanya, masyarakat punya hak untuk mengevaluasi, menguji kualifikasi dan kapasitas para caleg. Apabila para caleg memiliki rekam jejak yang buruk maka perlu dicoret oleh masyarakat. Begitu pun sebaliknya, para petahana (incumbent) yang mau mencalonkan ke periode kedua perlu dievaluasi oleh masyarakat. Jika mereka memiliki kapasitas untuk memperjuangkan dapilnya maka perlu didukung kembali sebaliknya jika tidak maka masyarakat perlu mencoretnya, jangan memilih kembali agar tidak mengulangi kesalahan.

Jika praktik politik ini diterapkan maka pemilu akan melahirkan para wakil rakyat yang berkualitas dan bermutu. Di sinilah embrio politik gagasan akan hidup kembali. Lebih dari itu, nilai dan kualitas demokrasi akan semakin baik. Jika ini tidak dilakukan, maka sudah pasti momentum pemilu akan melahirkan para wakil rakyat karbitan yang hanya menikmati fasilitas negara dan meninggalkan luka kekecewaan bagi masyarakat. Pemilu hanya akan dikuasai dan berakhir di tangan oligarki.

Sebagai penutup, penting untuk mengutip pendapat dari anggota DKPP RI, Muhammad (2019) ada lima syarat untuk mewujudkan pemilu berintegritas yaitu: pertama, regulasi yang jelas dan tegas. Kedua, peserta pemilu yang berkualitas dan berkompeten. Ketiga, pemilih yang cerdas. Keempat, birokrasi yang netral. Kelima, penyelenggara pemilu yang berkompeten dan berintegritas.

Oleh karenanya, untuk mewujudkan hak-hak politik rakyat seperti hak mendapatkan pendidikan yang bermutu, hak mendapatkan kesehatan yang prima, hak mendapatkan kesejahteraan, hak mendapatkan keselamatan dan keamanan maka masyarakat harus memastikan pilihannya tepat dan benar. Yaitu memilih wakil rakyat yang berkualitas dan bermutu. Karena perubahan dan kemajuan mustahil tercipta jika dipimpin oleh wakil rakyat yang tidak bermutu dan berkualitas. (*)