Opini  

Demokrasi Sistem Rusak, Niscaya Melahirkan Pemimpin yang Rusak?

Oleh: Hardianti Diman, S.Pd
Pengajar & Aktivis Dakwah Islam
_____
SLOGAN dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat telah gagal dalam menjamin hak rakyat, terutama dalam mengemukakan pendapat. Demokrasi gagal dalam melahirkan pemimpin yang baik dan mengutamakan kepentingan rakyat. Demokrasi tidak bisa menjadikan jalan perubahan dunia yang lebih baik. Penyebab demokrasi adalah kerusakan, ketidakadilan, bahkan ruang hidup masyarakat yang merupakan hak rakyat pun dirampas secara zalim. Sungguh jika sistem rusak menjadi nizamul hayah maka akan mendatangkan malapetaka bagi dunia.

Lahirnya Demokrasi

Perlu untuk kita lihat sejarahnya. Demokrasi lahir sebagai solusi dari dominasi gereja yang otoriter dan absolut sepanjang Abad Pertengahan (V-XV M). Di satu titik ekstrem, dominasi gereja dan raja Eropa menghendaki tunduknya seluruh urusan kehidupan (politik, ekonomi, sains, seni) pada dogma Gereja. Di titik ekstrem lainnya, dominasi Gereja ini ditantang oleh para filsuf dan pemikir yang menolak secara mutlak peran agama Katolik dan Kehidupan.

Raja dengan mengatasnamakan Wakil Tuhan terus melakukan secara semena-mena memaksakan kehendaknya, serta menghukum siapa saja yang menentangnya. Jadi saat itu siapa saja yang menentang dogma Gereja, termasuk ilmu pengetahuan, harus diberangus. Para pemikir dan ilmuan harus diberangus. Para pemikir dan ilmuan diburu, dipenjara, disiksa, bahkan dihukum mati. Bahkan raja dan gereja membuat alat-alat penyiksaan untuk menghukum orang-orang yang menentang mereka.

Renainssance dan Gereja menjadi peristiwa reformasi. Meruntuhkan Otoriter Gereja telah menjadi titik tolak. Akhirnya pasca revolusi Prancis tahun1789, terwujudlah  jalan tengah dari dua titik ekstrem tadi, yang terumuskan dalam sekularisme, yakni paham pemisahan agama dari kehidupan. Agama tidak diingkari secara total tetapi diakui meskipun terbatas, yaitu hanya mengatur pada lingkup hubungan manusia dengan Tuhannya, dalam urusan-urusan ibadah ritual semata.

Alhasil, bagi sekularisme agama adalah sumber persoalan. Agama harus dipisahkan dari kehidupan. Agama harus dipisahkan dari negara. Agama harus dipisahkan dari pendidikan dan ilmu pengetahuan. Politik, ekonomi, pendidikan harus steril dari campur tangan agama. Kalau ada satu tempat dimana agama boleh bersemayam tanpa diusik-usik, maka tempat itu adalah peribadatan individu. Apa pun alasannya, agama harus dipisahkan dari kehidupan, atau bencana kesewenang-wenangan agama akan kembali berulang.

Untuk itu setelah agama berhasil dipisahkan dari kehidupan, maka konsekuensi manusia harus buat aturan. Karena kalau bukan aturan agama yang mengatur kehidupan, maka pertanyaanya lalu dengan aturan apa? Jawabannya adalah aturan yang dibuat oleh manusia. Nah, dari sinilah peran demokrasi mulai tampak. Demokrasi meyakini manusia sebagai pembuat hukum, bukan Tuhan. Kalaupun hukum Tuhan diberlakukan, tetap harus sepersetujuan manusia. Tanpa persetujuan manusia, yang diwakili oleh mayoritas anggota parlemen, maka hukum apapun  termasuk hukum Allah Swt tidak layak diterapkan. Sampai hari ini, sistem demokrasi seperti inilah yang berlaku di hampir setiap negara di dunia, juga termasuk negeri-negri muslim.

Demokrasi Tak Sebaik Topengnya

Demokrasi dan sekularisme memiliki sifat yang sama. Karena demokrasi dibesarkan oleh sekularisme, sehingga menihilkan peran agama dalam kehidupan, kecuali sebatas ritual ibadah semata. Demokrasi juga dapat dikatakan sebagai pengejawantahan sekularisme dalam ranah politik. Jika sekularisme memiliki prinsip pemisahan agama dari kehidupan,maka demokrasi menjabarkan prinsip tersebut dalam ranah politik, yaitu dengan mencabut peran Allah Swt sebagai pembuat hukum, serta memberikannya kepada manusia. Dengan kata lain, misi demokrasi adalah menghapuskan kedaulatan Allah atau syariat, serta menggantikannya dengan kedaulatan rakyat.

Substansi demokrasi yaitu kedaulatan di tangan rakyat, dimana rakyat sepenuhnya berdaulat, berdaulat dalam memilih pemimpin, berdaulat dalam memilih aturan yang mereka inginkan. Tanpa kedaulatan rakyat, demokrasi tidak akan ada artinya sama sekali.

Adapun beberapa hal yang menyertai demokrasi seperti kebebasan bersuara, keadilan, kejujuran, keterbukaan, persamaan di depan hukum, koreksi, dan semacamnya, bukanlah demokrasi. Hal ini merupakan saran penunjang dan pelengkap bagi gagasan inti demokrasi. Sebagai contoh, sebuah negara yang korup dan zalim tetap disebut negara demokrasi karena masih mengadopsi konsep kedaulatan rakyat. Sebaliknya sebuah negara monarkhi yang bersih dan adil tidak akan disebut negara demokrasi, karena mengadopsi konsep kedaulatan raja. Jadi sangat tidak tepat jika menilai demokrasi hanya dengan melihat sarana penunjangnya, serta mengabaikan gagasan intinya.

Pada kenyataannya sistem demokrasi, suara rakyat dibungkam, hak ruang hidup rakyat dirampas dengan dalih untuk perbaikan ekonomi masa depan, tidak melihat dampak yang dirasakan oleh rakyat.  Begitupun juga dari pembuat kebijakan hukum oleh penguasa dalam sistem demokrasi hari ini oleh para pejabat parlemen selalu saja membuka peluang ketidakpastian hukum dan muncul kebutuhan akan aturan yang baru, bahkan sampai membuat hukum untuk dilanggar kembali. Sudah pasti dalam sistem demokrasi karena menjadikan kedaulatan di tangan rakyat.

Jadi, demokrasi hanya mengeksploitasi rakyat. Bahkan untuk meraup keuntungan yang lebih besar, AS memaksakan demokrasi ke nagara-negara lain dengan cara apa pun yang diperlukan. Penyuapan, rekayasa intelejen, pembunuhan, peperangan. Tidak ada sebuah bangsa di dunia ini yang hidup tenang di bawah bayang-bayang demokrasi dan intervensi AS. Sehingga ketidakpastian hukum suatu keniscayaan negara demokrasi.

Negara Demokrasi Terjadi Ketidakpastian Hukum

Baru-baru ini Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan yang juga calon wakil presiden nomor urut 3 Mahfud MD menyatakan, ketidakpastian hukum merupakan salah satu alasan terjadinya kemunduran di Indonesia. (Jakarta, Kompas.com).

Namun, hal ini perlu kita telisik lagi bahwa hanya sekadar pernyataan nihil yang tidak membawa pada sebuah perubahan. Karena mereka adalah bagian dari pembuat kebijakan yang tujuannya ternyata mereka sendiri yang melanggar. Perlu memahami bagaimana suatu  hukum itu bisa ditegakkkan. Tegaknya hukum karena berbagai faktor, baik kekuatan lembaga peradilan, SDM maupun kekuatan hukum itu sendiri.  Termasuk di dalammnya adalah penentuan model konsep bernegara dan sistem hukum  yang berlaku.

Memilih Pemimpin dalam Islam

Dalam memilih pemimpin, demokrasi memiliki metode khas, kita mengenalnya sebagai pemilihan umum (pemilu). Pemilu adalah cerminan diakuinya hak rakyat dalam memilih langsung wakil umat maupun pemimpin. Sedangkan dalam sistem Islam, rakyat pun berhak memilih wakil umat atau pemimpinnya (penguasa). Namun, persoalannya bukan sekadar hak rakyat memilih penguasa, tetapi juga pada proses pemilihannya, sosok wakil umat atau penguasa yang layak terpilih, dan tujuan memilihnya. Di sinilah letak perbedaan antara demokrasi dan Islam.

Demokrasi juga membebaskan rakyat untuk memilih pemimpin tanpa batasan apa pun, termasuk agama. Dalam demokrasi, ahli maksiat dan penentang hukum-hukum Allah bisa saja duduk di kursi kepemimpinan. Pemimpin yang terpilih pun adalah untuk menjalankan dan melaksanakan hukum dan aturan buatan manusia (rakyat). Oleh karenanya, pemilu dalam demokrasi hanyalah sarana (wasilah) untuk memilih penguasa yang akan menjalankan hukum yang bukan syariat Islam.

Hal tersebut berbeda dengan sistem Islam (Khilafah). Tidak sembarang orang bisa menjadi pemimpin (kepala negara/khalifah). Dalam kitab Asy-Syakhshiyah al-Islamiyah juz II bab “Syarat-Syarat Khalifah”, Syekh Taqiyuddin an-Nabhani menjelaskan bahwa seorang khalifah wajib memenuhi tujuh syarat agar ia berkompeten memangku berbagai tugas ketatanegaraan (kekhalifahan) dan agar baiat pengangkatan dapat dilakukan. Tujuh syarat tersebut adalah muslim, laki-laki, balig, berakal, adil, merdeka, dan mampu mengemban tugas-tugas kekhalifahan.

Dalam sistem Khilafah, khalifah dipilih bukan untuk menjalankan keinginan dan hukum manusia, tetapi untuk menjalankan hukum Allah Taala. Kewajiban seorang penguasa (al-hukkam) adalah menerapkan syariat Islam semata (lihat QS Al-Maidah [5]: 48, 49). Haram hukumnya penguasa menjalankan hukum yang bukan syariat Islam (lihat QS Al-Maidah [5]: 44, 45, 47). Oleh sebab itu, pemilu dalam sistem Islam hanya sebagai wasilah memilih pemimpin yang akan menjalankan syariat Islam.

Islam juga menjadikan halal/haram sebagai standar dalam menjalankan proses pemilihan. Tidak akan terjadi politik kotor, curang, atau manipulatif karena setiap aktivitas berlandaskan pada keimanan. Tampuk kekuasaan bukanlah sarana meraih materi duniawi, melainkan untuk menerapkan hukum Allah demi meraih rida dan janah-Nya.

Dengan demikian, tujuan ukhrawi inilah yang akan menjaga khalifah dari tindakan otoriter, zalim, dan semena-mena. Ia akan melayani dan mengurus seluruh rakyatnya dengan segenap jiwa dan raganya karena meyakini bahwa Allah akan meminta pertanggungjawaban atas semua yang diurusnya. Rasulullah saw. bersabda, “Imam (Khalifah) adalah raa’in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya.” (HR Bukhari).

Perbedaan sistem demokrasi dan Khilafah juga tampak jelas dalam pemilihan pemimpin di level daerah (biasa disebut pilkada atau pemilukada). Menurut pandangan Islam, pilkada justru menyalahi tata cara pengisian jabatan kepala daerah. Ini karena dalam sistem Khilafah, kepala daerah tidak dipilih penduduk daerah administratif setempat, melainkan diangkat oleh khalifah.

Demikianlah yang Rasulullah Saw contohkan dan diamalkan oleh para khalifah dari kalangan sahabat nabi sesudahnya. Walhasil, kita pun wajib mengamalkannya. Allah Swt berfirman, “Dan apa saja yang diberikan Rasul kepadamu, maka ambillah, dan apa saja yang ia larang bagimu, maka tinggalkanlah.” (QS Al-Hasyr [59]: 7).

Pemimpin dan Penguasa yang Amanah Hanya Ada Pada Daulah Islamiyah

Dalam Islam, kepemimpinan merupakan amanah yang harus dijaga, tidak boleh dikhianati. Manakala seseorang terpilih menjadi pemimpin, sesungguhnya ada pertanggungjawaban besar menantinya kelak. Amanah kepemimpinan bisa jadi anugerah dan tempat meraih pahala ketika ditunaikan dengan sungguh-sungguh. Namun sebaliknya, bisa jadi musibah dan tempat mendulang dosa ketika dilaksanakan dengan asal-asalan.

Itulah sebab Islam tidak memandang berbeda antara definisi pemimpin dan penguasa. Keduanya merupakan jabatan kepemimpinan yang akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah Taala. Rasulullah Saw bersabda, “Setiap kalian adalah pemimpin dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya.” (HR Bukhari dan Muslim).

Nabi Muhammad Saw juga mengingatkan agar manusia tidak meminta dijadikan pemimpin atau meminta jabatan. Ini karena tanggung jawab seorang pemimpin di dunia dan akhirat sangat berat. Abdurrahman bin Samurah berkata, “Rasulullah Saw bersabda kepadaku, ‘Wahai Abdurrahman, janganlah kamu meminta jabatan, sebab jika kamu diberi jabatan karena permintaan, tanggung jawabnya akan dibebankan kepadamu. Namun, jika kamu diangkat tanpa permintaan, kamu akan diberi pertolongan.” (HR Muslim).

Secara tabiatnya, sistem Islam melahirkan keteraturan karena bersumber dari Allah Swt. Sang pembuat hukum yang sempurna. Itulah sebab Islam membentuk karakter takwa pada semua elemen (individu, masyarakat, dan negara) sehingga kontrol masyarakat dan pelaksanaan aturan oleh negara dapat terlaksana dengan baik.

Yang terpenting, penguasa atau ulil amri mewakili kewajiban untuk melaksanakan syariat Allah Swt, bukan sebagai perpanjangan tangan donator politik yang biasa merekayasa kebijakan dan aturan legislasi.

“Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. Dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu.” (QS Al-Maidah: 49).

Oleh karena itu, umat Islam perlu memahami demokrasi secara substansi, sehingga bagaimana menjadi bagian dari perjuangan menegakan hukum Allah secara kafah di muka bumi ini melalui sebuah institusi pemerintahan (Khilafah) ‘ala minhaj nubuwwah Insya Allah. Wallahu’alam bishawab. (*)