Oleh: Nurcholish Rustam
Ketua Rampai Nusantara Malut
_____
JUDUL tulisan ini dapat segera menimbulkan pertanyaan: mungkinkah politik itu saleh? Kalau istilah kesalehan sosial sudah dianggap lazim karena sering dipakai, misalnya oleh pengamat politik Bung Mohamad Sobary, kiranya tidak demikian halnya dengan kesalehan politik. Kepolitikan yang dipadukan dengan etika dan moralitas biasanya diistilahkan sebagai kesantunan politik. Artinya berpolitik bisa dipersantun. Bolehlah para pendahulu kita M. Natsir dan Aidit tempo dulu bertengkar di dalam forum politik yang formal, tapi di luar itu karena ada kesantunan politik personal mereka tetap akrab dan minum kopi bersama.
Namun, bagaimana kesalehan politik? Para etikawan selalu berpandangan positif atas politik. Bahkan dikatakan politik itu sejatinya tidak hanya merupakan satu istilah yang netral, tetapi lebih dari itu “suci”. Karena “suci” itu berkonotasi “mulai”, otomatis politik mulia dan terhormat.
Di wilayah substansi, kemuliaan itu tercermin dari nilai politik yang demokratis yang bersifat universal seperti egalitarianism, penghargaan yang tinggi atas hak asasi manusia, keadilan, kesamaan di depan hukum, konstitusionalisme, dan seterusnya. Birokratisasi dan proseduralisme-lah yang membuat politik tidak lagi bertahan pada wilayah “kesucian”, tapi berjalan merayap ke wilayah abu-abu (grey area), bahkan wilayah hitam.
Persaingan dalam merebut dan mempertahankan kekuasaan membuat politik terkotori. Wilayah politik prosedural adalah zona “peperangan”. Pergerakan dan konflik pasti terjadi dalam konflik laten, potensial, mewujud dan terbuka. Hakikat politik adalah persaingan, tetapi tidak tentu merupakan persaingan sempurna dengan asumsi-asumsi yang cenderung “liar”.
Bicara politik terkesan berkebalikan dengan tema moralitas, padahal keduanya sejatinya sangat terkait. Politik sesungguhnya adalah moralitas itu sendiri. Yang oleh salah satu politisi muda Maluku Utara menyebutnya “Politik Ke-adab-an”. Namun, sebagaimana kalau kita baca karya-karya Machiavelli, moralitas politik terdegradasi dari yang kuat hingga yang lemah. Machiavelli sendiri menyarankan agar pilihan pragmatis walaupun jahat, dalam kondisi tertentu lebih diutamakan ketimbang mempertahankan keyakinan moral yang memaksa kita kehilangan kekuasaan. Makanya, ajarannya mengesankan bahwa berpolitik dapat dilakukan dengan menghalalkan segala cara, seperti yang terjadi di Maluku Utara saat ini.
Adalah pertanyaan yang sangat klasik dan sudah mengemuka sejak zaman purba: mengapa kekuasaan (social power) diperebutkan? Sudah banyak penjelasan mengenai itu, dari versi yang paling berat (filosofis) hingga yang paling ringan. Sederhananya seiring dengan kompleksitas hidup manusia, kekusaan semakin dipandang sebagai keperluan. Kekuasaan itu dibutuhkan. Soal untuk apa kekuasaan itu dipergunakan, tergantung si pengguna. Pada zaman kekuasaaan berada ditangan raja-raja atau zaman tatkala system monarki absolut merajai, sifat dan sikap raja sangat menentukan. Ada pepatah melayu, ‘raja adil raja disembah, raja lalim raja disanggah’. Dalam system monarki absolut, rakyat selalu berharap raja arif dan bijaksana, adil, serta mengutamakan kepentingan rakyatnya. Namun nyatanya tidak selalu demikian, raja lalimlah yang selalu mengemuka.
Rayat ditindas sehingga filsuf Thomas Hobbes mengatakan traumatiknya kepada negara (raja) yang dia gambarakan sebagai Laviathan (dibayangkan seperti monster dasar laut). Negara (raja) adalah terror bagi rakyatnya. Sejarah banyak memberi konfirmasi atas hal sedemikian. Sistem demokrasi politik, sebagai koreksi atas monarki absolut, kalau demikian juga tak lepas dari konteks moral.
Dengan alas an menegakkan moralitas dan keadilan, para pemikir politik di Timur maupun di Barat mempersoalkan system kekuasaan yang absolut dan memikirkan sesuatu system yang lebih adil. Namun demokrasipun sesungguhnya, sebagaimana pendapat Winston Churchill, bukanlah system politik terbaik, tapi belum ada system yang dianggap lebih baik darinya.
Setidaknya demokrasi menyediakan mekanisme check and balances. Justru karena itulah kesalehan politik diperlukan. Kesalehan lebih dari sekedar kesantunan yang lebih banyak dimaknai secara personal. Kesalehan menempatkan politik sebagai sesuatu yang produktif bergerak ke arah pembangunan yang menyejahterakan.
Terlalu normatifkah hal sedemikian? Jelas. Kenormatifan selalu mengajak masyarakat politik untuk bekerja lurus sesuai norma-norma yang baik. Namun, tidak dapat dipungkiri, banyak yang kurang suka membahas hal-hal yang normative, yang mengawang-ngawang dan berhenti pada konsepsi state of nature, yakni idealitas yang dibayangkan, yang seperti mimpi Ketika bangun kondisinya lain sama sekali. Kalangan realis memandang politik sebagaimana adanya, bukan bagaimana seharusnya. Karenanya politik dipandang dengan amat rasional sehingga hadir kajian khusus dalam ilmu politik, yakni pendekatan rational choice. Politik bekerja berdasarkan struktur insentif. Orang akan bergairah dalam politik guna meraih insentif yang memadai dan akan selalu memaksimalkan pencapaian kepentingannya.
Anda mungkin dianggap orang yang “mendadak saleh” dan mungkin anda akan sangat rishi mula-mula, tapi lama-lama terbiasa dengan panggilan “BOS” dari bakal konstituen anda. Namun, apakah kesalehan artifisial demikian yang diharapkan?
Tapi, sekali anda berpolitik, bukan harus menang dan kalah? Kesalehan politik lebih tepat dimaknai sebagai berpolitik secara wajar dan kritis. Tanpa harus berpretensi sebagai pemberi karitas atau pemberdaya, jadilah anda politikus yang lumrah alias fungsional. Jadilah politikus yang substansial, bukan politikus mekanistik-prosedural..
Politikus yang gentle, bukan pemburu rente kekuasaan yang kurang pantas dibicarakan orang. Persoalan cara meraih dan mempertahankan kekuasaan membutuhkan komitmen dan integritas. Kesalehan politik muncul apabila integritas terjaga. Anda harus tetap kritis terhadap kekuasaan sekalipun kekuasaan itu sudah ada digengaman.
Kekuasaan itu amanat, termasuk didalamnya harta benda. Sewaktu-waktu semua itu lenyap dari genggaman kita. Kita tidak perlu menciptakan monument, cukuplah meninggalkan kebijakan yang betul dan bermanfaat. Itu bentk kesalehan juga. Ukuran kesalehan politik adalah apabila anda dan kita semua pernah berbuat “kebaikan” sebesar zarah (atom) sekalipun dan itu tercatat dalam mahkama sejarah, walau anda tergeser dan kalah sekalipun keabadian dari monument itu tetap ada.
Kepekaan Sosial
Sering kita dengar orang yang mempertentangkan antara kesalehan individual dan kepekaan sosial. Mereka memisahkan secara dikotomis antara dua bentuk kesalehan ini. Seolah-olah dalam Islam memang ada dua macam kesalehan: “kesalehan individual/ritual” dan “kepekaan sosial”.
Disebut kesalehan individual karena hanya mementingkan ibadah yang semata-mata berhubungan dengan Tuhan dan kepentingan diri sendiri. Sementara pada saat yang sama mereka tidak memiliki kepekaan sosial, dan kurang menerapkan nilai-nilai islami dalam kehidupan sosial. Pendek kata, kesalehan jenis ini ditentukan berdasarkan ukuran serba formal, yang hanya hanya mementingkan hablum minallah, tidak disertai hablum minan nas.
Sedangkan “Kepekaan Sosial” menunjuk pada perilaku orang-orang yang sangat peduli dengan nilai-nilai islami, yang bersifat sosial. Bersikap santun pada orang lain, suka menolong, sangat konsen terhadap masalah-masalah kemanusiaan, memperhatikan dan menghargai hak sesama; mampu berpikir berdasarkan perspektif orang lain, mampu berempati, artinya mampu merasakan apa yang dirasakan orang lain, dan seterusnya. Kepekaan sosial dengan demikian adalah suatu bentuk kesalehan yang tak cuma ditandai oleh kesalehan individual/ritual, melainkan juga ditandai oleh seberapa besar seseorang memiliki kepekaan sosial dan berbuat kebaikan untuk orang-orang di sekitarnya. Sehingga orang merasa nyaman, damai, dan tentram berinteraksi dan bekerjasama dan bergaul dengannya.
Dalam Islam, sebenarnya kedua corak kesalehan itu merupakan suatu kemestian yang tak usah ditawar. Keduanya harus dimiliki seorang muslim, baik kesalehan individual maupun kepekaan sosial. Karena ibadah ritual selain bertujuan pengabdian diri pada Allah juga bertujuan membentuk kepribadian yang islami sehingga punya dampak positif terhadap kehidupan sosial, atau hubungan sesama manusia.
Dalam puasa implikasi sosialnya juga sangat jelas, diharapkan dengan menahan diri dari berbagai kesenangan duniawi itu (makan, minum dan hubungan seksual), seseorang akan mampu merasakan perasaan mereka yang kurang beruntung, mampu bersimpati terhadap derita orang lain. Sehingga wajar sekali jika seseorang, karena satu dan lain hal, tidak mampu melakukan ibadah puasa tersebut, harus menggantinya dengan “fidyah” (memberi makan kepada orang miskin). Ini mengajarkan kepada kita untuk memupuk kepekaan dan kesadaran sosial.
Puasa memiliki multifungsi. Setidaknya ada tiga fungsi puasa: tazhib, ta’dib dan tadrib. Puasa adalah sarana untuk mengarahkan (tahzib), membentuk karakteristik jiwa (ta’dib), serta medium latihan untuk berupaya menjadi manusia yang kamil dan paripurna (tadrib).
Dalam Kepekaan sosial juga tercakup kesalehan profesional. Kesalehan profesional menunjukkan sejauhmana perintah agama kita patuhi dalam kegiatan profesional kita, Artinya, nilai-nilai ibadah ritual kita, mesti pula termanifestasi dalam sikap, prilaku dan kinerja kita dalam menjalankan tugas-tugas profesi, maupun manejerial. Saling menghargai sesama, menjalin kerjasama yang baik, memiliki etos dan semangat kerja, kedisiplinan serta tanggung jawab pada tugas.
Dengan demikian, Idul Fitri bukan seperti turnamen sepak bola atau kompetisi lomba yang kemenangannya harus dirayakan dengan euforia dan penuh kebanggaan.
Kemenangan Idul Fitri adalah ketika kita berhasil meraih kematangan spiritual dan sosial setelah satu bulan penuh digembleng dan dididik di madrasah Ramadhan.
Kemenangan yang bukan karena kita telah finish melewati jalan terjal Ramadhan, tetapi kemenangan sesungguhnya yang tidak saja berupa kematangan spiritual, melainkan juga pencapaian kepekaan sosial yang seharusnya diraih.
Selamat merayakan Lebaran Idul Fitri 1445 Hijriah, mohon maaf lahir dan batin. (*)