Opini  

Imbasnya “Selamat Hari Kartini”

Oleh: Ummulkhairy M Dun
Sekretaris Umum Kohati HMI Cabang Ternate

_____

“Disampaikan kepada rekan-rekan kerja perempuan bahwa dalam rangka memperingati Hari Kartini, diwajibkan menggunakan kebaya layaknya seorang R.A Kartini”. Rangkaian kata-kata ini selalu diandalkan para pimpinan sebuah perusahaan atau instansi setiap tahun tepat pada pertengahan bulan April. Begitu sederhana seorang pahlawan perempuan diapresiasi cukup dengan mengikuti kostum yang pernah dipakai sang herowati.

Herowati pemilik nama lengkap Raden Ajeng Kartini dianggap cukup beruntung mewakili teman-teman pahlawan perempuan lainnya untuk diabadikan pada tanggal 21 April sebagai hari mengenang perjuangan mereka. Kisahnya tidak terlalu heroik namun begitu apik menerobos kegelapan-kegelapan yang mendominasi segala pojok ruang nusantara dahulu.

Diistimewakan sejak kecil karena terlahir sebagai putri dari RMAA Sosroningrat dengan MA Ngasirah mengisahkan banyak hal yang hampir tidak dilakukan putri seumuran dia kala itu. Tumbuh dan berkembang sebagai sosok dari keluarga ningrat, membuatnya hidup dalam ragam tradisi yang membalutnya. Meskipun demikian, Kartini diuntungkan dengan cara berpikir sang Ayah yang tetap memberikan kesempatan bersekolah kepada semua anaknya tanpa terkecuali dengan sosok perempuan kelahiran 21 April 1879 itu.

Melansir beberapa literatur, memuliakan RA Kartini karena kegigihannya melawan kebodohan. Baginya, perempuan tidak boleh hanya diandalkan melalui pekerjaan-pekerjaan memuaskan laki-laki, menjadi pengekor suaminya, atau hanya menjadi petugas berbagai pekerjaan dalam rumahnya. Bukan karena keterbatasan fisiknya sebagai perempuan yang membuat ia tidak terkenal dengan kisah mengangkat senjata, justru karena kesempatan bersekolah yang ia miliki sehingga ‘senjata’ dalam melawan penjajah dia buktikan dengan cara meningkatkan semangat literasi pada dirinya.

Berusaha memperoleh tulisan-tulisan Belanda melalui majalah dan koran bisa dikatakan sebagai instrumen Kartini untuk memantaskan bahwa perempuan juga tepat berada di bangku-bangku pendidikan. Ayahnya berhasil menyekolahkan Kartini beserta saudara-saudaranya hingga mereka memperoleh pelajaran Bahasa Belanda. Melalui usaha sang ayah, sosok perempuan kelahiran Jepara pun  memantaskan namanya sebagai penulis dalam majalah De Hollandsche Lelie.

Penguasaannya terhadap Bahasa Belanda yang begitu baik bersama saudara laki-lakinya Kartono, membuat Kartini sangat senang dan lihai  membaca tulisan-tulisan berbahasa Belanda. Beberapa tulisan itu diuraikan Harian Jogja di antaranya adalah judul Max Havelaar dan Surat-Surat Cinta karya Multatuli, De Stille Kraacht (Kekuatan Gaib) karya Louis Coperus dan karya Van Eeden yang bermutu tinggi, karya Augusta de Witt yang sedang-sedang saja, roman-feminis karya Nyonya Goekoop de-Jong Van Beek dan sebuah roman anti-perang karangan Berta Von Suttner, Die Waffen Nieder (Letakkan Senjata).

Semangat membacanya yang tinggi memiliki orientasi menyetarakan perempuan dengan laki-laki lewat pendidikan sangat rasional. Artinya, jika perempuan tidak dibiasakan duduk bersama laki-laki di bangku sekolah maka tidak akan bermunculan perempuan di ruang publik sebagai produk dari institusi pendidikan. Keberaniannya matang dengan membuktikan dirinya sebagai contoh bahwa perempuan memiliki kemampuan dan dapat diberdayakan.

Kemampuan yang dimiliki perempuan semakin dipertegas dengan lahirnya generasi seperti Kartini saat ini. Namun, begitu disayangkan dalam setiap peringatan Hari Kartini, orang-orang cukup bosan membahas kelihaian membaca dan menulis yang dimilikinya tetapi terobsebsi menjadi Kartini dengan versi menggunakan kebaya dan sanggul pada setiap momen nasional itu.

Perempuan-perempuan saat ini justru menjadikan aksidensi sebagai jalur untuk memantaskan eksistensinya sebagai perempuan. Padahal, Kartini beserta perempuan-perempuan masa lalu menunjukkan eksistensi mereka sebagai perempuan melalui kemampuan yang mengantarkan mereka sebagai pendobrak kebodohan dalam berpikir dengan berbagai jalurnya masing-masing.

“Selamat Hari Kartini” tidak pernah meredup dalam setiap tanggal peringatannya. Semakin mantap Raden Ajeng Kartini dikenal banyak orang sebagai pemilik tanggal 21 April. Pegawai perusahaan dengan gaya menggunakan kebaya dan sanggul dalam upaya mengenal RA Kartini. Para politisi beserta anak-anak organisasi pun memiliki gaya memperingati Hari Kartini dengan ragam flyer pengucapannya. Kehadiran tulisan ini pun bagian dari gaya memperingati 21 April.

Semua gaya variatif, pertanyaannya apakah hal-hal itu cukup menguntungkan kehidupan perempuan saat ini? Kasus pemerkosaan ayah teradap anak perempuannya, kasus stunting yang menyudutkan perempuan, perempuan dituntut menjadi cantik untuk memperoleh pekerjaan, sampai pada normalisasi perempuan beraktivitas larut malam dianggap tidak baik. Semua fenomena itu sangat merugikan perempuan.

Kehadiran Kartini di masa lalu, jangan sampai hanya diformalkan dalam setiap momen peringatannya. Bagaimana tidak, pasca pesta demokrasi perempuan yang terlibat dalam kontestasi politik lagi-lagi dianggap sebagai pelengkap untuk memenuhi syarat pencalonan partai politik. Artinya, perempuan tidak dibutuhkan secara kualitas melainkan hanya secara kuantitas. Selain itu, para politisi perempuan di berbagai daerah termasuk Kota Ternate mengandalkan pose ‘warna warni’ pada setiap spanduk kampanyenya untuk memperkenalkan diri sebagai calon wakil rakyat.

Hal lain yang semakin memprihatinkan kondisi perempuan masa kini adalah saat pemilihan berlangsung, semangat persatuan perempuan pun memudar bahkan hampir tidak ada. Bagaimana tidak, pemilih perempuan dengan jumlah cukup tinggi belum terlalu berhasil membawa para caleg perempuan sebagai pemenang dalam kontestasi politik. Ini berarti semangat memberdayakan perempuan pun dianggap masih lemah. Sehingga, hak-hak perempuan yang hendak diperjuangkan pun sulit tercapai.

Adapula saat ini politisi perempuan yang menduduki kursi wakil rakyat belum terlalu menyoroti masalah-masalah perempuan sebagaimana telah diuraikan sebelumnya. Hal tersebut membuat perempuan masih terkungkung dalam kurungan masalah yang seolah-olah dianggap sebagai sesuatu yang lumrah. Jangan sampai para politisi perempuan kehilangan arah karena beranggapan bahwa menjadi wakil rakyat adalah pekerjaannya secara person. Padahal sejak menjadi calon politisi, harus dipahami bahwa menjadi wakil rakyat adalah memperjuangkan hak-hak rakyat untuk mencapai kesejahteraan secara kolektif. Begitu juga dengan kesejahteraan pada kehidupan perempuan.

Itulah kenapa generasi perempuan saat ini ditakutkan menjadi generasi glorifikasi. Generasi yang hanya memiliki kemampuan memuliakan tokoh perempuan terdahulu tanpa mempelajari kehebatan yang hendak diwariskan. Memuliakan dan memberikan sanjungan adalah hal biasa, yang menjadi luar biasa adalah ketika sanjungan itu dijadikan motivasi untuk mewarisi kehebatan-kehebatan mereka di masa kini.

Imbas dari peringatan Hari Kartini harusnya mampu mewarisi keberanian sosok perempuan dalam melawan kebodohan dengan semangat literasi, walaupun menggunakan kebaya dan sanggul atau trand fashion lainnya tetap menunjukkan kepercayaan dirinya dengan ide-ide perubahan, hingga mampu memperkenalkan pejuang-pejuang perempuan lainnya melalui eksistensi perempuan yang memperjuangkan hak-hak perempuan lainnya.

Jika tulisan ini membosankan, ini berarti ada harapan yang belum tersampaikan. Tidak perlu menjadi Kartini melalui kebaya dan sanggulnya, cukup dengan membaca tulisan ini sebagai bukti perempuan dan literasi masih memiliki kesinambungan. (*)