Oleh: Subhan Hi. Ali Dodego
Pemerhati Pendidikan Maluku Utara
_____
“Ketika masing-masing partai mencoba melakukan politisasi terhadap Tuhan untuk kepentingan agenda politiknya sendiri, maka akan terjadi korupsi spiritual yang menyimpang” (Yudi Latif, 2009).
Jika tidak ada aral melintang, pemilihan bupati dan wakil bupati Halmahera Utara akan dilaksanakan pada 27 November 2024. Hal ini terlihat dari infrastruktur pilkada di seluruh Indonesia sudah mulai dibangun. Baliho para calon kepala daerah juga kerap kita temukan berseliweran di media sosial dan bertengger di sepanjang jalan Halmahera Utara.
Kita harus belajar dari pengalaman bagaimana fenomena ekspansi politik transaksional dan politisasi identitas menggerogoti seperti pada pemilu 14 Februari 2024 kemarin. Sehingga dibutuhkan ikhtiar dan kesadaran politik seluruh elemen dalam memilih kepala daerah yang memiliki mutu dan kualifikasi. Sebab, memilih pemimpin secara transaksional dan politisasi identitas hanya akan melahirkan pemimpin yang pragmatis, apatis dan berpotensi korupsi.
Jika dilihat dari aspek sosio-kultural Halmahera Utara merupakan kabupaten yang sangat heterogen, pluralis, multikultural dan multiagama. Kondisi ini jika dikelola secara baik dan bijak dapat menjadi modal sosial yang kuat untuk membangun kehidupan yang damai dan harmonis. Namun, sebaliknya jika tidak dikelola secara baik maka berpotensi menimbulkan konflik, mengancam perdamaian dan keharmonisan di Halmahera Utara. Politisasi identitas di daerah heterogen ibarat gunung es, menyimpan misteri petaka dan kekacauan yang besar di masa depan.
Perbedaan pendapat tentang istilah politisasi identitas juga acap kali kita temukan di berbagai forum-forum diskusi baik pada lingkup kampus, dan para pakar di stasiun televisi. Ada yang berpendapat wajib hukumnya politik identitas karena manusia memiliki identitasnya masing-masing seperti jenis kelamin, agama, suku dan status warga negaranya. Sementara ada yang lain berpendapat politisasi identitas ini tidak boleh karena dapat mengancam demokrasi, perdamaian dan keharmonisan dalam bernegara.
Terlepas dari dua pandangan di atas, penulis ingin mengambil pemikiran yang moderat, mengawinkan kedua pandangan tersebut. Bahwa secara kodrat manusia memiliki identitas masing-masing seperti yang sudah disebutkan di atas, tetapi dalam ranah politik praktis kita juga tidak boleh menggunakan identitas untuk mempolitisasi masyarakat agar memilih identitas agama, suku dan golongan tertentu. Kita menolak politisasi identitas dengan cara melihat rekam jejak (track record), karya dan kontribusi para calon pemimpin kemudian kita ambil keputusan dalam memilih mereka bukan karena dia beragama Islam, Kristen, suku Tobelo, Galela, suku Loloda, dll.
Menurut Nurcholish Madjid (2005) seorang cendekiawan Muslim Indonesia bahwa Pancasila merupakan titik pertemuan (kalimatun sawa’) semua agama di Indonesia. Baik Islam, Kristen, Hindu, Budha, dan Kong Hu Chu, titik temunya adalah Pancasila. Semua agama-agama di Indonesia memiliki payung Pancasila. Lebih dari itu, Pancasila bukan sekadar titim temu agama-agama melainkan juga sebagai titik persamaan nilai-nilai kemanusiaan.
Jadi, berbicara tentang Pancasila sudah final, mengikat dan selesai menjadi dasar negara dan sumber toleransi. Kemudian landasan hukum yang lain seperti UUD 1945, Bhineka Tunggal Ika dan NKRI merupakan satu kesatuan utuh yang tidak dapat dipisahkan dalam membingkai kesetaraan, kemanusiaan, toleransi, kedamaian dan keharmonisan. Dengan kata lain, bahwa semua pemeluk agama punya hak yang sama untuk mencalonkan atau dicalonkan sebagai pemimpin di bangsa ini. Apakah menjadi calon presiden, gubernur, bupati, kepala desa semua punya hak yang sama. Kecuali bagi mereka yang tidak beragama, tidak boleh mencalonkan diri sebagai pemimpin di NKRI.
Sebagai warga negara yang baik dan calon kepala daerah di daerah pluralis, kita tidak lagi berada pada ruang lingkup perdebatan calon pemimpin kita ini dia beragama apa, suku apa, orang apa, isu seperti ini sudah usang dan selesai. Orang yang masih memperdebatkan masalah ini adalah orang yang lahir terlambat. Yang wajib kita perdebatakan adalah apa karya, kontribusi, kapasitas, mutu, kualifikasi, visi dan misi dari kandidat untuk membangun Halmahera Utara yang maju, sehat dan sejahtera. Semua kandidat adalah putera puteri terbaik Halmahera Utara. Masyarakat yang menentukan siapa pemimpin terbaiknya.
Sebagai penutup, penulis ingin menyampaikan aspirasi masyarakat Halmahera Utara. Lokusnya kepada memutuskan mata rantai kebijakan politik identitas yang hanya mengarah kepada kecamatan tertentu. Bahwa kecamatan yang terletak di Loloda Utara dan Loloda Kepulauan masih tertinggal dan butuh kebijakan politik untuk kesejahteraan masyarakat. Seperti membangun jalan, jembatan dan jaringan internet serta infrastruktur lainnya. Siapapun kepala daerah yang terpilih nanti, harus membangun Halmahera Utara secara menyeluruh. Hak-hak politik masyarakat Halmahera Utara harus segera ditunaikan dan dituntaskan. Semoga! (*)