Oleh: Jufri M. Soleman
Sekretaris KNPI Malut
_____
MALUT mencari pemimpin adalah sebuah tema dialog publik yang digagas oleh DPD KNPI Malut pada tanggal 10/05/2024 di Sabeba Caffe dengan menghadirkan sejumlah narasumber yang kompeten di bidangnya.
Pilkada serentak yang dijadwalkan pada November 2024 mendatang di seluruh Indonesia termasuk Maluku Utara yang ada pemilihan Gubernur, Bupati dan Wali Kota. KNPI sebagai salah satu institusi kepemudaan yang memiliki peran dan tanggung jawab yang sama dengan lembaga publik lainnya, mendorong dan menyodorkan semacam proposal pikiran yang tidak sekeadar menjadi discourse belaka, melainkan semacam konsensus secara bersama dan sadar dilakukan atas keidealan-keidealan yang berbeda demi perubahan negeri ini ke depan.
Tentang keidealan-keidealan itu, penulis mengajak kepada kita semua untuk kembali merenungkan perjalanan sejarah para tokoh/pemimpin dunia yang kini makin keras diingat sebagai pemimpin yang “uswantun hasanah“.
Ajakan pertama, penulis memulai dengan seorang tokoh perempuan hebat, namanya Angela Dorothea Markel, dia adalah Kepala Pemerintahan (Kanselir) dan dia adalah perempuan pertama yang memegang jabatan penting itu. Dalam literatur menyebutkan, selain pengelolaan birokrasi yang baik tanpa korup, ia juga tidak pernah mengangkat orang-orang dekatnya untuk menjabat posisi -posisi penting di pemerintahannya. Itulah sebabnya, rakyat Jerman selalu menundukan kepalanya sebagai tanda penghormatan kepadanya. Tokoh berikutnya datang dari “Negeri Pelangi” di bawah kepemimpinan Nelson Mandela. Dia dikenal dengan usahanya menghentikan “apartheid”, sebuah kebijakan segregasi rasial di Afrika Selatan yang secara efektif memberantas rasisme dan membuka babak baru agar setiap orang hidup dalam keharmonisan. Abraham Lincolin, adalah kisah sejarah lainnya, Lincolin dikenal sebagai “The great emansipatoris” atau seorang emansipator yang hebat, karena dia berperan dalam memberantas perbudakan di Amerika. Dia juga dijulukinya sebagai “honest abe”. Predikat ini diberikan kepada Abraham karena sifatnya yang jujur dalam kepemimpinannya.
Dari narasi historis di atas, penulis tidak bermaksud menyamakan stratifikasi kuasa yang dimilikinya, selain karakter yang melekat pada diri seseorang.
Dengan demikian, pertanyaannya adalah apakah kita hari ini masih memiliki pemimpin yang “honest abe” layaknya Lincolin, atau “aparthheid ” untuk seorang Mandela yang membuat kebijakan anti rasisme di negaranya yang dicatat dalam sejarah manusia sebagai prestasi ataukah pada diri seorang Kanselir, Angela Markel yang anti pada nepotisme ?.
Pertanyaan-pertanyaan dengan kisah ini adalah sebuah bentuk gugatan moral dan kesadaran untuk melihat, menilai dan memilih dengan tidan pada standar yang subjektif. Sebab, fakta kepemimpinan kita ssbagai hasil dari demokrasi ternyata terhimpit oleh kepentingan yang sempit, warnanya tercemar oleh nafsu yang membabi buta, keadilan hanyalah siasat yang semu, kebenaran berada pada wilayah yang abu-abu, partai politik hanyalah sebuah “loket” untuk mendapatkan tiket dan pemilu hanyalah rutinitas demokrasi belaka. Parahnya lagi, pemilu dijadikan fasilitas paling mewah yang dipakai oleh orang berduit yang candu pada kekuasaan. Sejatinya, partai politik merupakan salah satu dari instrumen yang diberi otoritas untuk memverifikasi serta merekomendasi diharapkan tidak tergoda iman politiknya atas sesuatu yang justru membahayakan negeri ini.
Sebagai epilog dari tulisan ini, ada semacam stand point yang diresonansikan oleh para pembicara malam itu, bahwa pemimpin yang baik adalah pemimpin yang telah mati pun akan diingat, pemimpin yang hebat adalah pemimpin yang telah selesai dengan diri dan keluarganya. Kelak, pemimpin yang lahir dari hasil momentum 2024 mampu membawa negeri ini pada outopi bukan distoupia. Semoga. (*)