Opini  

Kurban: Ibrah Bagi Pemimpin

Oleh: Almun Madi
Pengajar

______

ADALAH Ibrahim, millahnya tak hilang sampai kini. Dari generasi Ismail hingga Muhammad, kalimat tauhid selalu menggemah, membela_menembus ruang angkasa. Tauhid Ibrahim adalah tauhid yang utuh, kuat dan tak bisa tergadai materialisme, meski berujung pada ujian menyembelih anak si mata wayang, Ismail. Bukan hanya peristiwa kurban, melainkan ketekunan Ibrahim untuk terus berada dalam garis utama tauhid (lillahi Ta’ala), sampai rela dibakar. Sekali-lagi tauhid Ibrahim adalah tauhid yang utuh, tak ada ruang bagi materialisme, kedurjanaan, kedengkian dan keangkuhan yang mampu menggerogoti tauhidnya Ibrahim. Apalagi hanya sekelas latta, uzza dan amanat.

Maka, perkara kurban wajib dimaknai sebagai ibadah melawan masuknya materialisme dan humanis tanpa Tuhan dalam diri. Sebab perjuangan Ibrahim menegakkan kalimat tauhid bukan hanya sampai pada titik klimaks peristiwa menyembelih Ismail. Melainkan jiwa kesalehan Ibrahim (kesalehan sosial) pasca peristiwa tersebut makin mengkristal. Betapa tidak, dalam histori Islam diceritakan, sang nabi selalu memastikan rakyatnya tidak kelaparan di saban malam. Sang nabi selalu mengutus para sahabat untuk memastikan rakyat sudah tidur dan tidak ada yang meraung kelaparan. Jika masih ada yang kelaparan, sang nabi berusaha untuk memberi makan dan memastikan mereka bisa tidur. Barulah sang nabi bisa makan dan juga bisa tidur.

Selain kisah Ibrahim ini, kita juga mungkin perna membaca cerita tentang keperkasaan Umar Bin Khattab yang rela memikul gandum dari gudang pangannya di waktu malam dan memberi pada rakyatnya yang kelaparan di malam hari. Mungkin juga, kita pernah membaca ikhwal ketelitian Umar Bin Abdul Azis yang pandai memakai lampu di rumahnya dalam hal urusan negara dan urusan pribadi, jika cerita soal pribadi maka lampu pribadi yang dinyalakan, jika saat bekerja untuk urusan negara maka lampu negara yang dinyalakan. Masya Allah.

Kita bisa menarik benang merahnya dari kisah ini, baik Ibrahim maupun kisah pemimpin lainnya di masa kenabian maupun di masa khalifa. Kita perlu menghadirkan ibrah dalam diri kita terutama para pemimpin kita. Bahwa keadaan rakyat lebih penting dari mengurus diri sendiri, lebih-lebih pada urusan sehari-hari. Selain itu, pemakaian barang milik negara ada porsi dan ada batasnya. Tidak boleh rakus apalagi rasua. Bagaimana dengan pemimpin kita saat ini??. Satu pertanyaan yang barangkali harus dijawab dari hati yang paling dalam.

Pemimpin kita, sebagiannya masih banyak yang bersifat cengeng dan kekanak-kanakan (homo ludens). Keinginan bermain lebih banyak dari pada bekerja: bermain-main dengan pasal-pasal hukum, bermain-main dengan uang rakyat, lalu tertawa di “kursi singgasana” jika semua permainannya terpenuhi, itulah sifat homo ludens.

Pada titik lebih krusial, sifat ketamakan dan sifat materialisme masih merasuki diri para pemimpin kita. Menumpuk harta kemudian memamerkan baik secara nyata maupun di dunia maya menjadi tontonan kita saat ini. Kedigdayaan bukan untuk membangun kepercayaan (trust) rakyat secara utuh, tapi kedigdayaan hanya untuk mengelabui rakyat. Apalagi kelompok oligarki sudah berselingkuh dengan kekuasaan, negara ibarat bus di tikungan tajam. Sang sopir dalam dilema dan ketakutan, salah mengendarai, semua penumpang dalam jurang. Semua jadi korban kecelakaan. Maka ber-Kurban-lah sebagaimana kurbannya nabi Ibrahim. Sehingga tidak ada yang jadi korban atau dikorbankan dalam bernegara. Maaf Lahir Batin. (*)