Oleh: Hudri Jailan
Mahasiswa Fakultas Hukum Unkhair
______
BEBERAPA hari lalu, masyarakat Gane dihebohkan dengan adanya undangan sosialisasi yang diselenggarakan oleh Pemerintah Kabupaten Halmahera Selatan dan PT GMM (Gelora Mandiri Membangun) bekerja sama dalam hal mensosialisasikan kebun plasma kelapa sawit. Hal ini mengundang reaksi masyarakat Gane. Pasalnya, sosialisasi ini dilakukan guna menjalin kemitraan antara pihak perusahaan dengan masyarakat.
Lagi-lagi pemerintah daerah dalam hal ini yang melakukan kerja sama dengan PT GMM mensosialisasikan perkebunan plasma kelapa sawit. Hal tersebut mengundang tanya dari beberapa kalangan muda termasuk penulis sendiri terkait dengan kerja sama tersebut, mengingat sosialisasi kebun plasma bukan baru kali pertama dilakukan. Sebelumnya, pihak perusahaan sudah melakukan hal serupa beberapa tahun ke belakangan, namun mendapatkan penolakan secara tegas dari pihak masyarakat Gane Luar.
Tentunya penolakan masyarakat Gane tersebut sudah seharusnya menjadi acuan dasar pemerintah daerah untuk lebih jeli lagi dalam hal membaca situasi dan kondisi di tengah-tengah masyarakat, khususnya masyarakat Gane yang notabenenya sebagai petani. Sebab penolakan tersebut bukan tanpa alasan, mengingat sebagian hutan Gane sudah dibabat habis demi kepentingan perusahaan kelapa sawit.
Dan yang tersisa hanyalah kebun-kebun warga yang menolak untuk diserahkan/jual ke pihak perusahaan dan masih dipertahankan sampai saat ini. Hanya itu satu-satunya yang tersisa dan menjadi sumber penghidupan bagi masyarakat setempat. Ini yang seharusnya diperhatikan oleh pemerintah daerah, bukan malah menjalin kerja sama dengan pihak perusahaan dalam hal ini PT GMM yang kedua kalinya untuk membujuk masyarakat agar lahannya diserahkan ke pihak perusahaan sebagai mitra yang nantinya lahan tersebut digunakan demi kepentingan perusahaan.
Di sini penulis mempertanyakan eksistensi pemerintah daerah saat ini sebagai pengambil kebijakan yang seharusnya merepresentasikan kepentingan masyarakat setempat, dan sudah seharusnya lebih mempertimbangkan kebijakannya pada aspek lingkungan. Hutan yang semakin hari makin menipis dan malah berpihak ke pihak perusahan. Jika ini terus berlangsung maka tidak menutup kemungkinan krisis ekologi akan berlangsung di daratan Gane.
Seharusnya pemerintah daerah melakukan kerja sama dengan pihak perusahaan dalam hal ini PT GMM untuk melakukan sosialisasi kepada masyarakat Gane yang pemukimannya berada di lingkar perusahaan. Sosialisasi terkait dengan bahaya limbah yang akan dihasilkan oleh perusahan kelapa sawit, sebab sejak perusahaan sawit ini menginjakkan kakinya di daratan Gane dan sudah beroperasi hampir belasan tahun ini.
Tidak ada satu pun pihak perusahaan atau pemerintah melalui dinas terkait sebagai perwakilan melakukan sosialisasi terkait dengan bahaya limbah sawit, antisipasi warga terkait limbah agar masyarakat punya pemaham terkait dengan hal itu. Ini yang sebenarnya dibutuhkan masyarakat, bukan sebaliknya mensosialisasikan kebun plasma.
kehadiran kebun plasma kelapa sawit di mata masyarakat merupakan skema baru untuk mencaplok lahan rakyat saja, mengingat dampak buruknya terlalu besar buat keberlangsungan hidup masyarakat meskipun tujuan dari kehadiran plasma diklaim oleh pihak perusahaan akan membuka kemudahan lapangan kerja bagi masyarakat, meningkatkan ekonomi dan pembagunan, tapi ujung-ujungnya hanyalah kerusakan yang akan dialami masyarakat.
Kita mungkin tidak bisa menyebutkan satu persatu nama perusahaan mana yang melakukan kerusakan tapi kita bisa berkaca pada perusahaan kelapa sawit itu sendiri, bahwa perusahaan memiliki potensi merusak. Skema kemitraan dengan mekanisme penyerahan lahan semacam ini dan menempatkan perusahaan sebagai mitra yang mengelola penuh lahan masyarakat dengan pola bagi hasil atau semacamnya tentu sudah tidak relevan lagi, sehingga sudah seharusnya pemerintah meninggalkan skema yang sudah usang dan bermasalah seperti ini dan itu secara tidak langsung menjadi solusi untuk mengatasi dan meminimalisir terjadinya konflik agraria perkebunan dan konflik sosial yang melibatkan masyarakat yang meluas di desa.
Jangan lupa bahwa persoalan kemitraan di perkebunan sawit ini juga membawa konsekuensi pada meluasnya areal deforestasi hutan dan lahan serta alih fungsi lahan garapan masyarakat menjadi perkebunan kelapa sawit, dan kemitraan dengan masyarakat menjadi praktek untuk melegitimasi para pengusaha untuk melakukan perluasan dan ekspansi baru di wilayah desa, dan di sisi lain hilangnya lahan ulayat atau lahan di desa nyata terjadi.
Karena adanya sebuah proses yang manipulatif serta mekanisme penyerahan lahan yang tentu membawa konsekuensi pada peralihan hak atas tanah kepada perusahaan dan status yang disebut tanah negara yang tidak dipahami oleh masyarakat lokal di desa.
Merujuk pada investigasi yang dilakukan (The Gecko projec 2022), tentang skema kemitraan di perkebunan kelapa sawit merupakan fakta yang serupa terjadi di banyak kasus kemitraan di perkebunan kelapa sawit di berbagai daerah dan ini menunjukan bahwa skema kemitraan yang selalu dijadikan ‘succses story‘ gagal menghasilkan kesejahteraan bagi para petani di desa, dan sebaliknya menjerumuskan mereka pada jurang kemiskinan yang makin parah karena hilangnya pendapatan dan tanah mereka.
Untuk itu, mahasiswa pemuda/i dan seluruh masyarakat Gane Luar menolak dengan keras hadirnya kebun plasma kelapa sawit, sebab perkebunan plasma bukan solusi melainkan petaka baru bagi kami. Kami juga mengimbau kepada pemerintah daerah dan pihak PT GMM agar hentikan segala upaya sosialisasi terkait dengan plasma. Kami hidup dengan kelapa dalam, cengkih, pala, dan coklat bukan malah dengan plasma/sawit, kami sudah cukup dengan itu semua.
Adapun faktor alam memang tidak dapat disalahkan, tetapi faktor buatan yang perlu dievaluasi. Manusia saat ini telah kehilangan kesadarannya hingga mereka melakukan hal-hal yang merugikan banyak pihak, termasuk hutan sebagai lingkungan hidup, hutan adalah habitat dari ribuan spesies mahluk hidup yang saling bergantungan. (*)