Opini  

Pasca Pilkada, Kita Harus Berbuat Apa?

Oleh: Subhan Hi. Ali Dodego
Praktisi Pendidikan

________________________

PEMILIHAN kepala daerah serentak pada 27 November 2024 telah usai. Walaupun pasca penetapan kepala daerah oleh KPU ada yang tidak menerima kekalahan dan melakukan gugatan di Mahkamah Konstitusi (MK). Sebetulnya, dalam konteks demokrasi sah-sah saja Undang-undang menjamin dan mengakomodasi pihak-pihak yang merasa dirugikan dalam proses pemilihan umum untuk mengajukan gugatan.

Meskipun pilkada telah selesai kita perlu melakukan evaluasi atas berjalannya pilkada pada 27 November 2024. Evaluasi pertama yang perlu dilakukan adalah pada level masyarakat. Masyarakat sebagai subjek politik sudah sepantasnya melakukan koreksi, evaluasi dan melakukan penilaian terhadap pilihan politiknya. Apakah pilihannya itu sudah benar dan sesuai dengan hati nurani dan amanat Undang-undang atau malah sebaliknya. Sebab, setiap pilihan rakyat pasti berkonsekuensi terhadap hak-hak politik dan kesejahteraannya selama lima tahun ke depan.

Kedua, pada level kandidat. Kandidat juga memiliki peranan yang sangat penting dalam mensukseskan pesta demokrasi. Hasil dari pilkada pasti ada yang menang dan ada yang kalah. Masing-masing dari kedua kandidat ini perlu melakukan evaluasi. Apakah selama pesta demokrasi berjalan ada yang sengaja menggunakan politik transaksional dan politisasi identitas atau benar-benar menerapkan politik gagasan. Begitupun bagi kandidat yang kalah perlu melakukan evaluasi terkait dengan hasil pilkada apakah sudah sesuai atau tidak. Dengan evaluasi maka setiap kandidat sudah pasti mengetahui kekuatan dan kelemahannya.

Lebih dari itu, kandidat yang terpilih harus benar-benar dan taat terhadap mandat rakyat. Jangan pura-pura lupa ingatan terhadap janji politik yang sudah disampaikan kepada masyarakat. Sebab, pemimpin yang sudah didukung oleh rakyat tugas mereka adalah bekerja untuk rakyat. Janji adalah hutang jadi harus dilunasi. Pemimpin tidak hanya berjanji pada rakyat tapi juga kepada Tuhan semua janji-janji akan dimintai pertanggungjawaban di akhirat nanti.

Ketiga, pada level penyelenggara. Penyelenggara baik KPU dan Bawaslu merupakan lembaga penyelenggara pemilu memiliki peran vital dalam sukses dan gagalnya pemilu. Ada beberapa catatan untuk kedua lembaga ini bahwa dari hasil pilkada 2024 masih banyak ditemukan sengketa baik administrasi, etik, proses hingga hasil pemilu. Tentu ini dilakukan pada level kandidat dan tim sukses masing-masing paslon. Sehingga perlu dilakukan pembenahan dan evaluasi terkait mekanisme dan konsistensi terhadap penerapan dan penegakan Undang-undang pemilu. Aturan pemilu harus benar-benar ditegakkan, tidak boleh tebang pilih, siapa yang bersalah maka harus ditindak jangan dibiarkan sehingga menjadi preseden buruk bagi institusi penyelenggara pemilu.

Dari ketiga level sebagaimana disebutkan di atas, menjadi satu kesatuan utuh yang saling berkait kelindan untuk dapat mengevaluasi proses dan hasil pilkada 2024. Para Bupati, Wali Kota dan Gubernur yang telah terpilih adalah buah dari pilihan rakyat. Suka atau tidak suka kandidat yang terpilih pada pilkada adalah hasil dari demokrasi dan mereka adalah pemimpin kita. Dan sudah tentu pilihan rakyat memiliki konsekuensi terhadap karakter dan kualifikasi setiap pemimpin.

Sebagai warga negara yang baik kita harus legawa menerima hasil pilkada. Bagi yang tidak puas silakan menempuh jalur hukum ranahnya sengketa pilkada. Pasca pilkada tugas kita belum selesai, kita harus mengawal jalannya roda pemerintahan di daerah. Masyarakat punya hak untuk menagih janji-janji politik yang tertuang dalam visi misi dan program setiap kandidat. Kita tunggu dan mengawal program unggulan dari setiap kepala daerah, jika selama lima tahun kinerja mereka baik maka silakan pilih kembali namun sebaliknya jika tidak sesuai ekspektasi maka rakyat punya hak untuk mencoret, tidak pilih lagi pemimpin yang tidak bekerja untuk rakyat di periode berikutnya.

Sebagai penutup, penulis menyampaikan lewat risalah kecil ini bahwa pilkada telah berakhir. Tetapi kehidupan akan terus berjalan dan mengalir. Pada momentum pemilu kita terpecah ke dalam beberapa golongan untuk mendukung dan memenangkan kandidat kita masing-masing. Jangan hanya karena pemilu selama lima menit di bilik suara dapat menghancurkan hubungan silaturahmi yang bersifat selamanya. Pendeknya, pemilu sementara keluarga selamanya. Mari rakit kembali hubungan yang sempat retak dan pupus. Semoga! (*)

Exit mobile version