Opini  

Kenaikan Pajak 12%: Meningkatkan Pendapatan atau Menambah Beban Masyarakat?

Oleh: Sarmini

____________________

KENAIKAN Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12% pada Januari 2025 memicu reaksi negatif di media sosial. Warga khawatir dampaknya terhadap daya beli dan pendapatan perusahaan, bisa berujung pada penurunan gaji karyawan. Menurut Menteri Keuangan Sri Mulyani, keputusan ini diambil demi memperbaiki APBN, bukan tanpa pertimbangan. Namun, sejumlah ekonomi khawatir akan efek negatifnya di tengah penurunan daya beli masyarakat. Dikutip kompas.com, Pemerintah menaikkan PPN menjadi 12% untuk mencapai beberapa tujuan, seperti meningkatkan pendapatan negara untuk pembiayaan pembangunan (infrastruktur, pendidikan, kesehatan, dan program sosial), menyesuaikan dengan standar internasional, mengurangi ketergantungan pada utang, mengendalikan pola konsumsi, dan memenuhi kebutuhan pascapandemi. Kenaikan ini bertujuan memperbaiki stabilitas fiskal jangka panjang dan mendukung pemulihan ekonomi (Kompas.com 31/12/24). Untuk merespons kekhawatiran masyarakat, pemerintah menjelaskan bahwa kenaikan tarif akan diberlakukan secara selektif pada barang dan jasa yang termasuk kategori mewah atau premium. Kenaikan tarif pada makanan akan mencakup produk seperti beras, buah-buahan, daging premium (wagyu, kobe), salmon, tuna, dan krustasea mewah seperti king crab. Di sektor jasa, tarif lebih tinggi akan dikenakan pada lembaga pendidikan internasional dan fasilitas kesehatan dengan layanan VIP atau lainnya. Selain itu, konsumsi listrik rumah tangga juga akan dikenakan tarif lebih tinggi untuk pelanggan dengan daya listrik antara 3.500-6.600 VA. Kenaikan PPN 12 ini didasarkan pada amanat Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UUHPP) dilansir dari liputan.com. Bahkan menurut pemerintahan, kenaikan tarif PPN ini dikhususkan untuk barang mewah saja. Namun nyatanya PPN 12% tak menyasar barang mewah saja, justru seluruh jasa yang selama ini dikenakan tarif 11%. Ungkap direktoral jendral pajak kementrian keuangan.

Menambah Beban Masyarakat

Kebijakan kenaikan tarif dan tambahan atas pajak bagi rakyat jelas akan berdampak buruk bagi kesejahteraan rakyat. Terlebih saat ini ekonomi Indonesia sedang memburuk, kebijakan tersebut berpotensi memperparah tekanan ekonomi yang sudah dirasakan masyarakat. Juga akan mendorong turunnya daya beli dan konsumsi masyarakat. Ketika pendapatan tetap, lalu pengeluaran bertambah, masyarakat cenderung mengurangi pengeluaran dan menahan uang mereka. Jika kondisi ini terus terjadi, pendapatan produsen, penjual, atau pedagang juga akan menurun akibat turunnya daya beli masyarakat.

Peningkatan pajak yang tinggi membebani perusahaan dan mengancam kelangsungan usaha, baik besar maupun kecil. Hal ini memicu efek domino yang menurunkan lapangan pekerjaan, memicu inflasi, dan memperburuk kondisi Masyarakat yang pada akhirnya menciptakan ketegangan sosial.

Krisis ekonomi yang timbul akibat kebijakan pajak yang tidak bijaksana juga dapat memengaruhi sektor lain, seperti pendidikan dan kesehatan. Dengan semakin sulitnya masyarakat memenuhi kebutuhan dasar, kualitas sumber daya manusia pun terancam yang pada gilirannya dapat merusak pembangunan jangka panjang bangsa.

Pajak Menjadi Tulang Punggung Pendapatan Kapitalis

Pajak dalam sistem ekonomi kapitalis menjadi sumber utama pendapatan negara yang digunakan untuk menutupi defisit anggaran dan membiayai kebutuhan operasional negara. Dalam sistem ini, pajak dianggap sebagai solusi utama untuk menciptakan stabilitas fiskal. Negara mendorong warganya untuk taat membayar pajak dengan menganggap bahwa warga negara yang baik adalah yang memenuhi kewajiban pajaknya, meskipun seringkali hal ini membebani masyarakat. Namun dalam kenyataannya, pajak yang dipungut dari masyarakat tidak selalu sebanding dengan manfaat yang diterima oleh rakyat. Kebutuhan pokok yang seharusnya dijamin negara justru dikenakan pajak, menjadikan rakyat semakin terbebani. Pemerintah dalam sistem kapitalisme, sering kali mengandalkan pajak sebagai alat untuk mengumpulkan dana, sementara pengelolaan sumber daya alam (SDA) yang melimpah sering diserahkan kepada pihak asing.

Negara yang kaya akan SDA seharusnya bisa mengelola kekayaannya untuk kesejahteraan rakyat. Namun, pengelolaan yang salah, di mana banyak SDA dikuasai oleh asing, justru memperburuk kondisi ekonomi rakyat. Akibatnya, meskipun sumber daya negara melimpah, rakyat tetap saja dipaksa membayar pajak tinggi, sementara sebagian besar keuntungan dari SDA tersebut tidak dirasakan langsung oleh mereka.

Kedudukan Pajak dalam Islam

Pajak dalam islam bukanlah sumber utama tetap dan utama pendapatan negara, bahkan dapat dikatakan merupakan alternatif terakhir Ketika kondisi keuangan negara sedang genting. Adapun sumber utama pendapatan negara menjadi hak kaum muslim dan masuk ke baitulmal ada Sembilan bagian, yaitu fai (anfal, ganimah, khumus), jizyah, kharja, ‘usyur, harta milik umum yang dilindungi negara, khumus rikaz dan tambang, harta orang murtad. Inilah pendapatan tetap negara, ada atau tidaknya kebutuhan.

Syarak telah menetapkan sejumlah kewajiban dan pos yang ada atau tidak adanya harta di baitulmal (kas negara) tetap harus berjalan. Jika tidak ada, kewajiban tersebut berpindah ke pundak kaum muslim. Ini karena jika tidak dipenuhi, bisa menyebabkan dharar seluruh kaum muslim. Untuk menghilangkan dharar pada saat baitulmal tidak ada dana, khilafah boleh menggunakan instrument pajak. (Al-Amwal fi Saulati al-khilafah). Akan Tetapi, Pajak hanya akan dibebankan kepada warga negara muslim yang kaya dan sifatnya hanya sementara. Setelah Baitulmal kembali stabil, pajak akan dihentikan. Syekh Abdul Qadim Zallum menjelaskan bahwa dharibah adalah kewajiban harta yang dikenakan oleh Allah kepada umat Islam untuk membiayai kebutuhan dan pos-pos yang diperlukan ketika Baitulmal kekurangan dana untuk membiayainya. (Al-Amwal fi Daulati al-Khilafah, hlm. 129).

Oleh karena itu, pajak dalam islam bukan untuk menghalangi orang kaya atau menambah pendapatan negara, apalagi untuk memperkaya pejabat negara. Sebaliknya, pajak dipungut semata-mata untuk membiayai kebutuhan yang telah ditentukan oleh syariat. (*)