Opini  

Narasi Pahit Perempuan dalam Cengkeraman Demokrasi

Oleh: Sahawia Firdaus
Aktivis Dakwah Muslimah

______________________________

TELAH berlangsung selama berabad perempuan mencari kesejahteraan dan kemuliaan tapi tak kunjung ditemukan. Tepat tanggal 8 Maret setiap tahunnya diperingati hari perempuan sedunia. Berbagai ekspresi melalui platform media dirayakan sebagai bentuk dukungan tuntutan melawan kekerasan pada perempuan. Teriakan keras dan tuntutan panjang menyertai setiap aksi perempuan baik dari kalangan pekerja, buruh, maupun pegiat hak-hak perempuan. Hal ini menandakan sejarah panjang perjuangan perempuan yang belum usai di bawah asuhan demokrasi dan tidak menunjukkan tanda-tanda keberhasilan tapi malah penuh dengan kekerasan, ketidakadilan dan kesengsaraan.

Perempuan Belum Sejahtera

Perjuangan demi perjuangan telah dilakukan oleh perempuan untuk memenuhi kesejahteraannya. Menuntut pemenuhan kebutuhan dasar mulai dari sandang, pangan, papan serta pendidikan, kesehatan dan keamanan. Tapi jika kita lihat kembali data BPS, angka kemiskinan per september 2024 sebesar 24,06 juta orang yang di antaranya diisi oleh perempuan. Menurut Kemen PPPA, ada lebih dari 383 juta perempuan dan anak perempuan terjebak dalam kemiskinan. Bahkan diprediksi oleh unwomanid lebih dari 158 juta perempuan dapat jatuh dalam kemiskinan di tahun 2050. Dilansir juga dari data Susenas, BPS 2020 terdapat 30,23% populasi perempuan tidak mempunyai jaminan kesehatan.

Melihat berbagai persoalan yang dihadapi perempuan, ada berbagai usaha yang dilakukan untuk memperkecil angka kemiskinan dan menuntut kesejahteraan. Kemen PPPA melakukan usaha dengan bekerja sama dengan Badan Pusat Statistik, Lembaga Demografi Universitas Indonesia, Politeknik Kesejahteraan Sosial (Poltekesos), dan UNFRA telah meluncurkan hasil Survei Pengalaman Hidup Perempuan Nasional (SPHPN) dan Survei Nasional Pengalaman Hidup Anak dan Remaja (SNPHR) pada 7 Oktober tahun 2024 yang bertujuan sebagai tonggak penting dalam upaya pemerintah mengatasi kekerasan terhadap perempuan dan anak. Tapi apalah daya kemiskinan, kekerasan dan ketidakadilan seolah selalu menghampiri perempuan dan anak serta menambah daftar panjang persoalan. Ini tidak lepas dari kebijakan sistem demokrasi yang bermuara pada sistem kebijakan global yang menyengsarakan.

Perempuan Tereksploitasi 

Perempuan dengan masalah yang menghampirinya merupakan hasil dari ide yang diadopsi oleh individu, masyarakat dan negara. Sehingga pemandangan yang memotret kehidupan hari ini penuh dengan kesenjangan. Hadirnya perjuangan yang dilakukan oleh berbagai kalangan perempuan dari tingkat global, nasional sampai lokal tidak lepas dari kalangan feminis yang membawa ide kesetaraan gender. Sehingga kita perlu membaca secara jeli ide kesetaraan yang diadopsi dan diperjuangkan oleh perempuan hari ini. Apalagi ide kesetaraan ini dimuat dalam dokumen Sustainable Developmet Goals (SDGs) poin kelima yang sebenarnya sebagai alat penjajahan barat yang dihiasi dengan kesejahteraan semu bagi perempuan. Beragam organisasi Internasional juga dibentuk seperti CEDAW, BpfA, ICPD, MDGs ataupun SDGs semuanya tidak lepas dari penjajahan barat (muslimahnews.net).

Penjajahan barat melalui penerapan sistem kapitalisme rentang mengeksploitasi perempuan dalam dunia kerja. Apalagi sistem kapitalisme hari ini membutuhkan SDM untuk mengelola produksi barang dan jasa. Berdasarkan data BPS tentang Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) Februari 2024 partisipasi angkatan kerja perempuan sebanyak 55,42 persen. Angka ini dianggap kontras dengan angkatan laki-laki yang penyerapannya mencapai 84,02 persen. Sehingga dengan hadirnya kesetaraan gender di poin kelima dalam dokumen Sustainable Developmet Goals (SDGs) sebagai bentuk kesetaraan agenda 2030 yang ditargetkan. Pengawalan yang dilakukan oleh barat terhadap setiap negara dengan menilai keseriusan dalam menderaskan nilai kesetaraan gender. Padahal kerusakan, ketidakadilan serta kemiskinan adalah buah dari penerapan sistem demokrasi kapitalisme. Hasil dari kebijakan ekonomi kapitalisme dan distribusi kekayaan yang tidak adil. Akibatnya perempuan harus keluar dan memiliki dua peran ganda mencari nafkah untuk menambah nilai-nilai rupiah di dalam rumahnya dan menjadi ibu. Akhirnya berbagai persoalan menghampirinya seperti kekerasan dan pelecehan di ruang kerja. Sehingga kita membutuhkan pengaturan yang kompleks untuk mengatur dan menjaga perempuan di ruang publik. Dan ini hanya kita temukan dalam pengaturan dan penjagaan Islam terhadap perempuan.

Islam dan Penjagaannya

Islam memandang perempuan bagian dari masyarakat yang perlu dilindungi, begitu juga dengan laki-laki. Pada kitab An-Nizham Al-Ijtima’i yang ditulis oleh Syaikh Taqiyuddin an Nabhani Amir ke-1 Hizbut Tahrir, menyebut sistem kemasyarakatan adalah sistem yang mengatur seluruh hubungan manusia yang terjadi di dalam suatu masyarakat tertentu, tanpa memperhatikan jenis kelamin atau gendernya. Tujuan dalam sistem kemasyarakatan untuk mengatur interaksi antara laki-laki dan perempuan masyarakat muslim di semua lapisan ruang hidupnya (Fika,2025).

Ketika banyak interaksi yang terjadi di ruang publik, berbagai persoalan ikut menyertai dalam interaksi itu. Apalagi nilai-nilai kebebasan dan ketidakmampuan peradaban barat dalam mengatur interaksi khusus antara laki-laki dan perempuan. Ide-ide liberalisme barat ikut mewarnai masyarakat muslim yang akhirnya menjadi driver dan menimbulkan kerusakan masyarakat yang tak terhindarkan. Tapi Islam memiliki pengaturan kompleks yang mampu mengatur interaksi itu. Terbukti dengan hadirnya Islam dalam ranah negara Khilafah Islamiyah mampu menjaga perempuan. Tidak ada cerita perempuan mati kelaparan dalam peradaban Islam, perceraian yang melonjak, pernikahan yang dihindari atau memiliki anak menjadi sebuah ketakutan tidak ada sama sekali. Tapi semua itu hanya kita temukan dalam masyarakat yang tumbuh dan hidup berdampingan dengan peradaban barat. Apalagi narasi Islam jarang hadir di ruang publik. Akhirnya ada harga mahal yang harus dibayar oleh kaum muslim hari ini ketika memisahkan Islam dan tidak mengambil Islam sebagai peraturan dalam hidupnya. Padahal dalam peradaban Islam, kaum laki-laki dan perempuan diberikan ruang untuk bekerja sama secara profesional, dan kompeten di semua level dari level mikro seperti jual beli di pasar, level meso misalnya berorganisasi, atau level makro bekerja di kementerian industri sesuai dengan bidang keahliannya; hingga level mega sebagai pengamat geopolitik dunia Islam (Fika, 2025).

Dengan demikian, penerapan Islam dalam ranah individu, masyarakat dan negara sangat diperlukan untuk mengembalikan peran perempuan yang sangat strategis sebagai istri dan ibu serta menjadi bagian dari masyarakat untuk membentuk masyarakat yang ideal. (*)