Oleh: Basri Amin
_________________________
BUKU-buku pelajaran agama kini mengalami perluasan dan ledakan yang luar biasa. Bukan hanya yang tercetak, tetapi yang jauh lebih luas belakangan ini adalah buku online. Keadaan ini adalah berkah abad informasi, dengan beragam dampaknya. Khusus bagi masyarakat Islam, keberadaan buku atau kitab-kitab (pengetahuan) merupakan sesuatu yang inheren, sesuatu yang menjadi bagian dari identitas dan kesadaran keberagamaan.
Islam adalah agama yang amat memihak kepada budaya tulis-menulis dan menegaskan doktrinnya yang tegas dalam urusan “membaca”. Ditegaskan bahwa semua “ayat Allah” haruslah dibaca dengan kesungguhan dan dengan kemampuan merenung dan berpikir. Inilah harapan Tuhan kepada mereka yang disebut sebagai “Ulul Albab” (Madjid, 1992).
Aspirasi mendasar tersebut beroleh tantangan serius ketika membaca pernyataan kritis bahwa “masyarakat Muslim dewasa ini belum cukup mahir menerjemahkan keimanan mereka ke dalam aksi fisik, sosial dan intelektual..”. Ini adalah simpulan empiris yang menantang dan tampaknya itulah yang menjadi pemicu mengapa futorolog Islam, Ziauddin Sardar, membukukan perbincangan-perbincangannya di televisi dengan sejumlah tokoh (dunia) Islam pada akhir tahun 1980-an. Bagaimana faktanya saat ini? Banyak jawaban yang bisa diajukan.
Saya merenung! Wawasan keagamaan saya relatif sangat terbatas. Tarikan yang sangat kuat sejak awal adalah kepada dimensi ritual agama. Meski demikian, Alhamdulillah, selalu saja beroleh sumber-sumber pencerahan, baik dalam arti melalui pengalaman, bacaan dan/atau dengan cara “berguru” kepada beberapa pihak, langsung maupun tak langsung.
Di luar itu, satu hal yang jelas adalah bahwa pengalaman hidup sekian tahun di Manado rupanya memberi pantulan sendiri dalam perkara sikap dan visi keagamaan yang selama ini saya jalani. Karena tidak mempunyai latar pembelajaran keagamaan yang formal (madrasah atau pesantren), saya selalu merasa “haus” membaca dan belajar dengan tema-tema Islam.
Dalam konteks ini, tema filsafat, sejarah, biografi, sains, dan sufisme, memang cukup banyak mewarnai koleksi bacaan-bacaan saya. Satu di antaranya yang memberi pengaruh adalah karya futorolog Islam, Ziauddin Sardar, Rekayasa Masa Depan Peradaban Muslim ([1979], 1991).
Meski tak pernah kuhitung jumlah pastinya, tapi kurasakan bahwa saya mengoleksi ratusan buku bertema Islam, dan uniknya karena cukup signifikan saya membelinya pada masa kuliah saya di jenjang sarjana (1992-1996). Meski uang sangat terbatas, amat terasa bahwa saya berusaha keras membeli dan membaca buku-buku agama (Islam).
Saya masih ingat betapa rutinnya saya mengunjungi toko buku, terutama TB. Terbit, Presiden, Borobudur, dan Utama. Untuk buku bertema filsafat dan sejarah, saya mengunjungi TB GMIM di Tomohon, Don Bosco, Sentrum, dan Karombasan. Sudah pasti, selalu ada “frustasi” kecil setiap kali memasuki toko buku, karena begitu menggodanya banyak bacaan tapi uang yang sangat terbatas. Hikmahnya tentu banyak, antara lain saya kemudian makin lincah membaca cepat atau “mengintip” ringkasan (cover belakang) untuk buku-buku yang tidak (mampu) saya beli.
Ratusan buku yang pernah saya baca puluhan tahun lalu, khususnya yang bertema Islam, kembali kujumpai dengan rasa rindu yang lain. Beberapa di antaranya adalah buku Dr. Majid Ali Khan, “Konsepsi Islam tentang Asal-Usul dan Evolusi Kehidupan” (1987); Al-Hujwiri, “Kasyful Mahjub” (1992); C.A. Qadir, “Filsafat dan Ilmu Pengetahuan dalam Islam (1991); Annemarie Schimmel, “Rahasia Suci Wajah Ilahi” (1992); Endang S. Anshari, “Wawasan Islam”(1991); Bernard Lewis, “Bangsa Arab dalam Lintasan Sejarah” (1988); Dr. Effat Al-Sharqawi, “Filsafat Kebudayaan Islam” (1981); Sukmadjaya Asyarie – Rosy Yusuf, “Indeks Al-Qur’an” (1984); dan Frans Rosenthal, “Etika Kesarjanaan Muslim” (1996).
Tradisi panjang masyarakat muslim memberi kontribusi kepada ilmu pengetahuan dan teknologi menjadi bukti tentang identitasnya. Marilah kita lihat komentar Desmon Stewart (1972): “Manusia modern –yang demikian gemantung kepada obat-obatan dan kemahiran dokter, hitungan komputer dan ramalan-ramalan perencanaan ekonomi –lebih banyak berutang daripada yang disangkanya kepada sarjana-sarjana Islam abad tengah. Antara abad ke-9 dan ke-14, ahli-ahli kimia, dokter-dokter, ahli-ahli ilmu bintang, matematika, ahli ilmu bumi dan sarjana Islam lainnya bukan saja menghidupkan disiplin-disiplin ilmu pengetahuan Yunani, melainkan memperluas jangkauannya, meletakkan dan memperkuat dasar-dasar tempat tumpuan bagi terbitnya ilmu pengetahuan modern”.
Tulisan lain, oleh George Sarton, menulis: “tugas ummat manusia disempurnakan oleh kaum Muslimin, filsuf terbesar, Al-Farabi, ahli matematika terbesar, Abu Kamil dan Ibrahim Sinan; ahli ilmu bumi dan ensiklopedis terbesar, Al-Mas’udi; ahli sejarah terbesar, At-Thabari. Mereka adalah muslim”.
Untuk waktu yang cukup panjang, untuk pertama kali dalam sejarah tercatat terbentuknya “Akademi Ilmu Pengetahuan” pertama di dunia, dengan nama “Darul Hikmah” pada masa khalifah Al-Ma’mun ibn Harun Ar-Rasyid (813-832 M). Perpustakaan besar berdiri, demikian juga dengan pusat penerjemahan, observatorium dan universitas (Darul’ ulum). Fakultas Kedokteran pun berdiri untuk pertama kalinya pada tahun 765 M oleh Jurjis Ibn Naubakht (Poeradisastra, 1986: 9-10). Pada masa keemasan inilah karya-karya besar tercipta. Demikian juga dengan “Etika Kesarjanaan Muslim” (Rosental, 1996).
Hampir semua literatur sains dan filsafat dibawa, diteliti, diterjemahkan dan dibahas di Baghdad. Semua ini berproses hingga kesarjanaan dan kekuasaan Islam meluas-berkembang hingga ke Andalusia (Spanyol), sejak tahun 719 M, hingga kota Islam terhebat pada masa itu, Granada, jatuh pada tahun 1492 M. Sebuah buku khusus tentang Islam di Spanyol ditulis oleh Profesor W. Montgomery Watt (1965) dalam bukunya “A History of Islamic Spain” (210 halaman). Alhamdulillah, kebesaran Islam di Spanyol saya baca melalui buku yang ditulis oleh maha guru terkenal dari Universitas Edinburgh ini. Tak pernah kusangka buku klasik ini kutemukan beberapa tahun lalu di Leiden dan kini masih terus menyapaku di Hale-Hepu.
Selamat puasa Ramadan!. Selamat menyucikan diri, demi ampunan dan ridha-Nya. (*)
Penulis adalah Anggota Indonesia Social Justice Network (ISJN)
E-mail: basriamin@gmail.com