Opini  

Kekerasan Seksual Anak dan Kegagalan Ideologi Sekuler: Islam Sebagai Solusi Paripurna

Oleh: Minati Hamisi, M.Pd

__________________________

KASUS kekerasan seksual terhadap anak lagi-lagi terjadi di Halmahera Selatan, yang mencerminkan kegagalan sistemik dalam melindungi kelompok paling rentan dalam masyarakat. Keterlibatan oknum pendidik dalam kasus kekerasan seksual terhadap anak merupakan tamparan keras bagi dunia pendidikan, khususnya di Halmahera Selatan. Peristiwa ini menjadi indikator bahwa masih terdapat persoalan serius dalam sistem perlindungan anak dan etika profesi di lingkungan pendidikan yang harus segera dibenahi.

Berdasarkan data yang dilansir dari Salawaku.id di Bacan, Kepala Dinas Perlindungan Perempuan, Anak, dan Keluarga Berencana (DP3AKB) Halmahera Selatan, Apt. Karima Nasaruddin, mengungkapkan bahwa kasus kekerasan seksual menunjukkan tren peningkatan dari tahun ke tahun, dengan 29 kasus tercatat pada tahun 2023 dan naik menjadi 31 kasus pada tahun 2024. Pada tahun 2025, kasus yang mencuat melibatkan korban seorang siswi SMP, dengan jumlah terduga pelaku mencapai 16 orang (18/05/2025).

Fakta ini menjadi peringatan keras bagi seluruh pemangku kepentingan untuk memperkuat upaya perlindungan anak dan penegakan hukum yang lebih tegas di Halmahera selatan. Meskipun jumlah kasus ini tampak belum signifikan secara kuantitatif, dampaknya terhadap masa depan generasi muda sangatlah besar. Oleh karena itu, penanganan yang serius, terkoordinasi, dan berkeadilan dari seluruh pihak yang berwenang menjadi sebuah urgensi yang tidak bisa ditunda.

Problem Ideologi Sekuler

Peningkatan kasus kekerasan seksual terhadap anak dari tahun ke tahun mencerminkan adanya kelemahan sistemik dalam upaya perlindungan anak di tingkat negara. Kelemahan ini tidak hanya bersifat teknis, tetapi juga berkaitan dengan persoalan mendasar dalam arah kebijakan dan paradigma yang diadopsi. Dalam konteks ini, pendekatan sekuler yang memisahkan agama dari tata kelola kehidupan sosial telah melemahkan peran institusi-institusi penting yang semestinya menjadi garda terdepan dalam melindungi anak. Sudah saatnya negara mengevaluasi kembali fondasi ideologis yang berasas akidah Islam dan kebijakan publik agar lebih berpihak pada perlindungan menyeluruh terhadap generasi penerus bangsa.

Sistem pendidikan yang berorientasi sekuler memisahkan peran agama dalam mengatur kehidupan dinilai belum optimal dalam membentuk karakter peserta didik yang memiliki integritas moral dan spiritual yang kuat. Padahal, pembentukan kepribadian (syakhshiyah) yang berlandaskan akidah Islam sangat penting sebagai panduan dalam menjalani kehidupan yang hakiki. Ketika pendidikan kehilangan dimensi pembentukan kepribadian yang hakiki, banyak individu tumbuh tanpa landasan akidah Islam yang sempurna, yang pada akhirnya berdampak pada tatanan sosial secara luas.

Keluarga dalam sistem sekuler cenderung tidak punya pemahaman yang mendalam terhadap ajaran Islam. Jika pun keluarga membekali anggota keluarganya dengan pendidikan agama yang mendalam, nyatanya tidak cukup kuat untuk menahan gempuran di tengah masyarakat. Penggunaan internet tidak bisa dihindari. Saat negara melakukan transformasi digital, tetapi lalai membuat mekanisme yang menjamin keselamatan masyarakat mengakses dunia digital maka transformasi digital justru banyak disalahgunakan untuk menjaring mangsa oleh predator anak.

Terlebih sistem sekuler kapitalisme memberi kebebasan tanpa batas. Akibatnya, tayangan, film, dan kesenangan yang berbau seksual dapat dengan mudah diakses siapa saja. Keterbukaan akses terhadap konten-konten bermuatan seksual inilah yang menjadi salah satu pemicu maraknya predator seksual anak.

Dalam memenuhi salah satu fitrah hidup berupa kebutuhan biologis, tidak sedikit individu yang terjerumus pada perilaku menyimpang karena lemahnya kontrol negara. Fakta menunjukkan bahwa pelaku kekerasan seksual terhadap anak berasal dari berbagai latar belakang, mulai dari kalangan intelektual, mahasiswa, pekerja, hingga orang-orang yang seharusnya menjadi pelindung, seperti orang tua, tokoh agama, dan bahkan individu berkebutuhan khusus. Hal ini menegaskan bahwa problemnya bukan sekadar personal, tetapi bersifat struktural dan ideologis.

Berbagai regulasi yang ada sejauh ini belum mampu memberikan perlindungan maksimal bagi anak. Salah satu penyebab mendasarnya adalah paradigma sekuler-liberal yang memisahkan nilai agama dari kehidupan, sehingga mengikis kesadaran moral dan spiritual dalam masyarakat. Tanpa landasan akidah Islam dan rasa takut kepada sang pencipta, regulasi buatan manusia menjadi rentan disalahgunakan, bahkan diperjualbelikan. Oleh karena itu, mustahil menyelesaikan kejahatan seksual terhadap anak dengan pendekatan ideologi yang justru menormalisasi kebebasan tanpa batas dan mengabaikan nilai-nilai Islam.

Islam Solusi Paripurna

Sistem Islam memiliki seperangkat aturan dalam melakukan pencegahan dan penindakan untuk berbagai kasus kejahatan, termasuk kekerasan seksual. Islam memiliki langkah pencegahan dan penanganan berupa sistem sanksi yang berefek jera menutup celah terulangnya kasus serupa. Islam telah mengatur sistem pergaulan yang berkenaan dengan hubungan pria dan wanita. Merujuk kitab An-Nizham al-Ijtima’i fi al-Islam yang ditulis oleh Syekh Taqiyuddin an-Nabhani rahimahullah hlm.39, ketentuan tersebut di antaranya sebagai berikut:

Pertama, Islam memerintahkan kepada manusia, baik pria maupun wanita, untuk menundukkan pandangan. Allah Swt berfirman, “Katakanlah kepada pria yang beriman, ‘Hendaklah mereka menahan pandangannya dan memelihara kemaluannya, yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat.‘ Dan katakanlah kepada wanita yang beriman, ‘Hendaklah mereka menahan pandangannya dan memelihara kemaluannya.…‘” (TQS An-Nûr [24]: 30-31).

Kedua, Islam memerintahkan kepada kaum wanita untuk mengenakan pakaian yang menutupi auratnya, yaitu seluruh tubuhnya, kecuali wajah dan kedua telapak tangannya, yakni mengenakan jilbab (gamis) (lihat QS Al-Ahzab: 59) dan khimar (lihat QS An-Nuur: 31).

Ketiga, melarang seorang wanita melakukan safar (perjalanan) dari suatu tempat ke tempat lain selama perjalanan sehari semalam, kecuali jika disertai dengan mahramnya.

Keempat, larangan bagi pria dan wanita untuk berkhalwat (berdua-duaan), kecuali jika wanita itu disertai mahramnya.

Kelima, melarang wanita untuk keluar dari rumahnya kecuali seizin suaminya karena suami memiliki hak atas istrinya.

Keenam, Islam sangat menjaga agar dalam kehidupan khusus komunitas wanita terpisah dari komunitas pria; begitu juga di dalam masjid, sekolah, dan sebagainya. Artinya, Islam telah menetapkan bahwa wanita hendaknya hidup di tengah-tengah kaum wanita, sedangkan seorang pria hendaknya hidup di tengah-tengah kaum pria.

Ketujuh, Islam sangat menjaga agar hubungan kerja sama antara pria dan wanita bersifat umum dalam urusan-urusan muamalah, bukan hubungan yang bersifat khusus seperti saling mengunjungi antara wanita dengan pria yang bukan mahramnya atau keluar bersama untuk berdarmawisata. Ini karena kerja sama di antara keduanya bertujuan agar wanita mendapatkan apa yang menjadi hak-haknya dan kemaslahatannya, di samping agar mereka melaksanakan apa yang menjadi kewajiban-kewajibannya. Dengan hukum-hukum ini, Islam dapat menjaga interaksi pria dan wanita sehingga tidak menjadi interaksi yang mengarah pada hubungan lawan jenis atau hubungan yang bersifat seksual.

Di antara langkah preventif lainnya adalah negara melakukan peran dan tugasnya secara nyata, yaitu menerapkan sistem pendidikan berbasis akidah Islam. Dengan sistem ini, seluruh perangkat pembelajaran mengacu pada Islam. Dengan begitu, anak-anak memiliki akidah yang kuat, orang tua memiliki pemahaman agama yang baik, dan masyarakat aktif berdakwah dengan saling memberi nasihat. (*)

Exit mobile version