Opini  

Maluku Utara Darurat Kekerasan Seksual

Ilustrasi.

Oleh: Asma Sulistiawati
Pegiat Literasi

____________________

KASUS kekerasan seksual kembali mengguncang Maluku Utara. Dalam waktu yang hampir bersamaan, beberapa peristiwa memilukan terjadi dan menampar nurani kita sebagai masyarakat.

Di Kepulauan Sula, seorang pria berusia 28 tahun tega memperkosa seorang nenek 70 tahun di rumahnya sendiri. Kejadian ini berlangsung pada 28 Juli 2025 sekitar pukul tiga sore waktu setempat. Saat suasana rumah sepi, pelaku menyelinap masuk dan melakukan perbuatan bejat tersebut. Untungnya, korban berhasil melawan dan melaporkan kejadian itu kepada warga lalu diteruskan ke pihak kepolisian. (Detik.com, 4 Agustus 2025)

Sementara itu di Morotai, publik dikejutkan dengan dugaan kasus pelecehan terhadap siswi SMA oleh oknum guru. Bukannya dilindungi, korban justru dihadapkan pada sikap sekolah yang diduga mencoba menutupi kasus ini. Bahkan ada upaya membela pelaku dan menekan korban untuk diam. Hal ini memicu kecaman keras dari berbagai pihak termasuk aktivis perempuan dan organisasi kepemudaan. (Tandaseru.com, 2 Agustus 2025)

Deretan kasus ini bukan sekadar derita individu. Ini adalah potret nyata betapa rapuhnya perlindungan terhadap perempuan dan anak di daerah kita. Jika lansia di rumah sendiri tak lagi aman dan siswi tak mendapat perlindungan di sekolahnya, lalu di mana lagi rasa aman bisa ditemukan?

Akar Masalah Ada di Sistem yang Gagal Menjaga

Tidak cukup hanya mengecam pelaku. Tidak cukup hanya menangis dan prihatin. Kita harus berani jujur bahwa sistem yang kita jalani hari ini ikut bersalah. Ia membiarkan kekerasan seksual terus berulang. Ia gagal menciptakan suasana aman. Ia diam ketika korban berteriak. Ia tumpul ketika kejahatan terjadi.

Laporan Komnas Perempuan mencatat sepanjang tahun 2024, terjadi 4.784 kasus kekerasan terhadap perempuan di Indonesia Timur, dengan Maluku Utara menjadi salah satu provinsi dengan angka kekerasan berbasis gender tertinggi di kawasan tersebut. Sayangnya, ini hanya angka yang tercatat, sementara banyak kasus lain tenggelam karena korban memilih diam. (Komnasperempuan.go.id, Catatan Tahunan 2024)

Menurut catatan Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Maluku Utara, sepanjang Januari–Juni 2025, telah dilaporkan lebih dari 38 kasus kekerasan seksual, sebagian besar terjadi pada anak dan remaja perempuan, terutama di wilayah Ternate, Halmahera Barat, dan Morotai. (Antaranews.com, 3 Juli 2025)

Sistem pendidikan kita lebih sibuk mengejar angka ujian daripada membentuk karakter. Nilai-nilai moral tidak dibangun secara kokoh. Anak-anak tidak dididik tentang pentingnya menundukkan pandangan atau menghormati lawan jenis. Bahkan guru yang seharusnya menjadi pelindung justru bisa menjadi predator. Ini adalah krisis.

Sistem hukum pun mengecewakan. Banyak kasus kekerasan seksual diselesaikan secara kekeluargaan. Korban didorong untuk diam demi nama baik keluarga atau lembaga. Pelaku melenggang tanpa hukuman setimpal. Keadilan pun jadi barang mahal yang sulit dibeli oleh orang kecil.

Tak hanya itu, masyarakat juga punya andil. Kita sering menyalahkan korban. Kenapa keluar malam? Kenapa tidak menjerit? Kenapa tidak melawan? Pertanyaan-pertanyaan ini justru melukai korban lebih dalam dan membuat mereka enggan melapor. Padahal seharusnya pelaku yang dikejar dan dikecam habis-habisan.

Pemerintah daerah juga belum menunjukkan respons yang layak. Tidak ada sistem pengaduan yang mudah. Tidak ada pendampingan psikologis yang cepat. Tidak ada dukungan hukum yang kuat. Yang ada hanyalah seruan moral tanpa aksi konkret. Korban kembali dibiarkan sendiri menghadapi trauma.

Inilah realita yang menyakitkan. Kekerasan seksual terus tumbuh karena sistem yang ada memberi ruang. Ia tidak tegas. Ia tidak adil. Ia tidak memihak korban.

Islam Menawarkan Solusi Menyeluruh yang Menjaga Kehormatan

Islam memandang kekerasan seksual sebagai kejahatan besar. Ia bukan sekadar pelanggaran etika, tapi ancaman terhadap martabat manusia. Dalam Islam negara wajib menjadi pelindung, bukan penonton. Solusi yang ditawarkan Islam bersifat menyeluruh dan menyentuh akar persoalan.

Islam membangun pendidikan berbasis akhlak. Anak-anak diajarkan tentang kehormatan, batas pergaulan, dan tanggung jawab terhadap sesama. Bukan hanya tahu rumus dan hafal teori, tapi memiliki rasa malu dan sikap hormat sejak dini. Guru bukan sekadar pengajar, tapi teladan.

Islam juga menutup pintu-pintu yang membuka jalan pada kekerasan seksual. Pornografi, minuman keras, media dengan konten sensual, dan budaya permisif tidak diberi tempat. Negara wajib menyaring tayangan dan platform yang merusak moral publik. Mencegah lebih utama daripada mengobati.

Sanksi terhadap pelaku pun sangat tegas. Jika terbukti memperkosa, pelaku bisa dihukum dengan hukuman yang berat, bahkan mati jika korbannya mengalami kerusakan jiwa dan tubuh. Ini bukan sekadar hukuman balasan, tapi bentuk perlindungan agar kejahatan serupa tidak berulang.

Islam juga menghidupkan peran masyarakat. Amar makruf nahi munkar menjadi budaya. Masyarakat tidak cuek. Mereka peka terhadap lingkungan. Ketika ada kejanggalan, mereka bertindak. Ketika ada kemungkaran, mereka tidak diam. Ini yang menjaga lingkungan tetap sehat.

Semua ini hanya mungkin jika sistem yang digunakan adalah sistem Islam secara menyeluruh. Bukan sistem yang membiarkan agama hanya urusan pribadi, tapi sistem yang meletakkan agama sebagai landasan kehidupan bernegara dan bermasyarakat.

Kasus-kasus di Maluku Utara bukan hanya luka daerah. Ia adalah luka bangsa. Jangan lagi kita menunggu korban baru untuk mulai peduli. Jangan biarkan sistem yang gagal terus berjalan lalu berharap keajaiban terjadi.

Kini saatnya kita jujur bahwa perubahan sejati hanya bisa terjadi jika kita berani meninggalkan sistem yang lemah dan mulai membangun sistem yang benar-benar menjaga. Islam bukan hanya agama, tapi jalan hidup yang lengkap. Dan di dalamnya, setiap perempuan, anak-anak, hingga lansia dijaga dengan kehormatan tertinggi. Wallahu’alam. (*)

Exit mobile version