Oleh: Sarmini La Rajab
_____________________
MALUKU Utara menyandang predikat sebagai provinsi paling bahagia di Indonesia. Namun, di balik pencapaian tersebut, angka kekerasan seksual justru menunjukkan tren peningkatan yang memprihatinkan. Berdasarkan data dari Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) Maluku Utara, tercatat sebanyak 320 kasus kekerasan seksual pada tahun 2022. Angka ini meningkat signifikan pada tahun 2023 menjadi 410 kasus, dengan jumlah korban perempuan sebanyak 184 orang dan korban anak mencapai 273 orang. Sementara itu, sepanjang Januari hingga November 2024, tercatat 384 kasus kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak.
Salah satu kasus yang mencuat terjadi di Kota Ternate berhasil menangkap pelaku seorang pria berinisial H (39 tahun) yang diduga melakukan pelecehan seksual terhadap anak perempuan berusia 12 tahun (mediahub.polri). Di Kabupaten Halmahera Selatan, seorang siswi SMP berusia 15 tahun menjadi korban kekerasan seksual oleh lebih dari sepuluh pria dewasa, termasuk dua orang guru. Sejak dibangku SD. (malutline.com). Tak hanya terjadi di Halmahera Selatan, kasus serupa juga ditemukan di Kota Tidore Kepulauan, kasus pelecehan seksual oleh seorang ASN berujung pada kriminalisasi keluarga korban dan kekerasan fisik terhadap ibu korban (konde.co, 10 Maret 2025).
Sementara itu, menurut laporan Badan Pusat Statistik (BPS) yang dikutip oleh halmaherapost.com pada 22 September 2022, Maluku Utara mencatat indeks kebahagiaan tertinggi di Indonesia, dengan skor 76,34 poin. Padahal, secara ekonomi, provinsi ini merupakan salah satu daerah dengan tingkat (PDRB) terendah di tanah air sebuah paradoks yang berimplikasi pada tingginya angka kemiskinan dan kekerasan.
Menurut aktivis perlindungan perempuan dan anak, Musrifah, Kota Ternate menjadi wilayah dengan jumlah kekerasan tertinggi di Maluku Utara sepanjang tahun 2024, yakni mencapai 73 kasus per November. Posisi kedua Kabupaten Sula dengan 54 kasus, dan ketiga Kota Tidore dengan 48 kasus. Hal ini menunjukkan bahwa penghargaan dan predikat positif tidak selalu mencerminkan kondisi sosial yang aman dan terlindungi, terutama bagi kelompok rentan seperti perempuan dan anak-anak.
Ketimpangan Kebahagiaan dan Kekerasan Seksual
Indeks kebahagiaan yang dirilis oleh Badan Pusat Statistik (BPS) biasanya mencakup aspek subjektif seperti kepuasan hidup, hubungan antarwarga dan kondisi lingkungan. Namun, aspek-aspek ini sering kali tidak cukup untuk merepresentasikan kondisi sosial secara menyeluruh, terutama dalam hal keamanan dan perlindungan terhadap kelompok rentan. Ketika masyarakat dinilai “bahagia” berdasarkan indikator umum, tetapi perempuan dan anak-anak terus menjadi korban kekerasan seksual, maka perlu dipertanyakan apakah kebahagiaan tersebut benar-benar merata dan menyentuh seluruh lapisan masyarakat.
Lonjakan jumlah kasus dari tahun ke tahun menandakan bahwa upaya pencegahan dan penegakan hukum belum berjalan secara maksimal. Ditambah lagi, dalam beberapa kasus, aparat penegak hukum justru bersikap tidak adil atau abai terhadap korban, bahkan berpihak pada pelaku. Ketidakadilan ini menciptakan trauma berlapis dan menurunkan kepercayaan masyarakat terhadap sistem hukum. Ketika korban tidak mendapatkan perlindungan yang layak, rasa aman sebagai bagian dari kesejahteraan pun hilang, menjadikan angka kebahagiaan yang tinggi hanya sebagai angka statistik tanpa makna nyata.
Akar Masalah
Sebagai negeri mayoritas muslim, negeri ini hidup dalam sistem dan budaya sekularisme-liberalisme. Salah satu dampaknya ialah konten pornografi membanjiri masyarakat. Sejak 2005, Indonesia masuk 10 besar negara pengakses situs porno di dunia. Padahal, konten pornografi ini sudah terbukti menjadi pemicu perilaku seks bebas, seperti perzinaan dan kekerasan seksual. Di sisi lain, masyarakat makin permisif. Interaksi bebas antara pria dan wanita sudah dianggap normal. Selain membuka peluang perzinaan, hal ini juga memberikan celah bagi terjadinya kekerasan seksual terhadap perempuan. Selain itu, disadari atau tidak, kaum perempuan sudah lama dieksploitasi, seperti melalui kontes kecantikan, modeling, dsb. Ini juga menjadikan perempuan dicitrakan sebagai pelampiasan hawa nafsu lelaki. Sementara itu, penegakan hukum justru gagal melindungi kaum perempuan. Banyak korban yang trauma sehingga takut melapor. Para pelaku pun kerap mendapatkan sanksi ringan. Bahkan, tidak sedikit kasusnya tidak diselesaikan secara hukum, melainkan hanya dengan jalan damai
Solusi yang Mendasar untuk Perempuan dan Anak-anak
Sistem Islam memiliki seperangkat aturan dalam melakukan pencegahan dan penindakan untuk berbagai kasus kejahatan, termasuk kekerasan seksual. Secara paripurna, sistem Islam mengatur interaksi sosial dan pergaulan pada setiap level komunitas masyarakat. Untuk membentuk ketakwaan individual serta komunal, negara menerapkan sistem pendidikan berbasis akidah Islam. Islam memiliki langkah pencegahan dan penanganan berupa sistem sanksi yang berefek jera menutup celah terulangnya kasus serupa.
Perempuan dan anak-anak di dalam Islam harus dimuliakan dan dijaga martabat dan kehormatannya. Islam mengharamkan segala bentuk kekerasan dan penindasan termasuk kejahatan seksual. Allah SWT berfirman,
“… Dan janganlah kamu paksa hamba sahaya perempuanmu untuk melakukan pelacuran, sedang mereka sendiri menginginkan kesucian, karena kamu hendak mencari keuntungan kehidupan duniawi.” (QS. An-Nur: 33).
Kapabilitas sistem Islam dalam melindungi perempuan dari pelecehan dan kekerasan dapat dilihat dari rekam sejarah peradaban Islam. Pada tahun 837 M, Al-Mu’tashim Billah menyahut seruan seorang budak muslimah dari Bani Hasyim yang sedang berbelanja di pasar yang meminta pertolongan karena diganggu dan dilecehkan oleh orang Romawi. Kainnya dikaitkan ke paku sehingga ketika berdiri, terlihatlah sebagian auratnya. Wanita itu lalu berteriak memanggil nama Khalifah Al-Mu’tashim Billah, “di mana kau Mutashim… tolonglah aku!” Setelah mendapat laporan mengenai pelecehan ini, maka sang Khalifah pun menurunkan puluhan ribu pasukan untuk menyerbu Kota Ammuriah (Turki). Seseorang meriwayatkan bahwa panjangnya barisan tentara ini tidak putus dari gerbang istana khalifah di Kota Baghdad hingga Kota Ammuriah (Turki), karena besarnya pasukan.
Islam juga menyiapkan sanksi keras bagi para pelaku kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak-anak. Syariat Islam menjatuhkan sanksi bagi pihak yang melakukan eksploitasi terhadap perempuan, termasuk pihak yang memproduksi konten-konten pornografi. Para pelaku ini dijatuhkan sanksi takzîr yang jenis dan bobot sanksinya diserahkan kepada kadi (hakim). Sanksinya bisa berupa hukuman penjara, hukuman cambuk, bahkan hukuman mati jika dinilai sudah keterlaluan oleh pengadilan.
Sanksi tegas ini akan menimbulkan efek jera bagi pelaku, sekaligus merupakan upaya negara untuk menutup celah munculnya kasus serupa. Berulangnya kasus kejahatan seksual selama ini sesungguhnya disebabkan karena sanksi yang tidak menimbulkan efek jera, baik bagi pelaku maupun masyarakat secara luas.
Walhasil, aturan Islam inilah yang akan mampu menuntaskan segala bentuk kejahatan seksual yang terjadi hari ini. Hanya saja, dibutuhkan perjuangan untuk menegakkan institusi pelaksana atas aturan yang Allah turunkan, yakni melalui tegaknya Khilafah ‘ala minhaj an-nubuwwah. Wallahualam bissawab. (*)