Oleh: Asma Sulistiawati
Pegiat Literasi
___________________
FENOMENA krisis tenaga kerja global semakin nyata menghantam dunia, dan generasi muda menjadi korban utama. Di satu sisi, banyak lulusan sekolah dan perguruan tinggi berharap pada masa depan cerah, namun di sisi lain kenyataan pahit pengangguran dan ketidakpastian kerja justru menanti. Fakta-fakta terbaru baik secara global, nasional, maupun lokal di Maluku Utara menunjukkan betapa seriusnya masalah ini.
Secara global, pasar tenaga kerja menunjukkan gejala tidak sehat. CNBC Indonesia (29 Agustus 2025) melaporkan bahwa di berbagai negara besar seperti Inggris, Prancis, Amerika Serikat, hingga Cina, angka pengangguran terus meningkat. Bahkan muncul fenomena baru bahwa sebagian orang berpura-pura bekerja atau rela bekerja tanpa digaji, hanya demi mendapat pengakuan sosial bahwa dirinya masih produktif. Fenomena ini menandai betapa rapuhnya fondasi sistem ekonomi dunia.
Di Indonesia, meski secara nasional BPS (Agustus 2025) melaporkan angka pengangguran sedikit menurun, ternyata generasi muda tetap menjadi kelompok paling rentan. Data menunjukkan separuh dari total pengangguran Indonesia adalah anak muda. Artinya, persoalan tenaga kerja bukan sekadar masalah statistik, melainkan ancaman serius terhadap masa depan bangsa.
Situasi ini juga tercermin di daerah, termasuk Maluku Utara. BPS Malut (rilis 5 Mei 2025) mencatat Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) di Maluku Utara pada Februari 2025 mencapai 4,26%, naik dibanding tahun sebelumnya yang sebesar 4,16%. Yang lebih mengkhawatirkan, lulusan SMK yang seharusnya diproyeksikan siap kerja justru mencatat tingkat pengangguran tertinggi, yaitu 10,75%. Fakta ini menegaskan bahwa pendidikan vokasi sekalipun tidak otomatis menjadi jalan keluar bagi anak muda mendapatkan pekerjaan.
Bagi wilayah yang kaya sumber daya alam seperti Maluku Utara, kondisi ini menimbulkan pertanyaan besar. Mengapa dengan potensi tambang dan perikanan yang melimpah, angka pengangguran tetap meningkat, bahkan di kalangan lulusan yang digadang-gadang siap masuk dunia kerja?
Kapitalisme dan Kegagalan Sistemik
Fenomena ini tidak bisa dipisahkan dari akar masalah sistemik, yaitu kegagalan kapitalisme dalam mengelola ekonomi dan menciptakan kesejahteraan. Sistem kapitalisme menjadikan lapangan kerja tunduk pada logika pasar. Industri hanya akan membuka lapangan kerja jika ada keuntungan yang dijanjikan. Begitu badai krisis datang, pemutusan hubungan kerja (PHK) massal menjadi solusi cepat, sementara nasib pekerja terabaikan.
Krisis tenaga kerja global sesungguhnya adalah cermin konsentrasi kekayaan dunia pada segelintir orang. Menurut Celios (2025), di Indonesia saja kekayaan 50 orang terkaya setara dengan kekayaan 50 juta orang penduduk. Ketimpangan ini jelas menunjukkan bahwa kapitalisme tidak hanya gagal mendistribusikan kekayaan, tetapi juga gagal menjamin hak rakyat untuk bekerja.
Pemerintah pun sering kali lepas tangan. Alih-alih menyediakan lapangan kerja, negara justru menyerahkan urusan pekerjaan pada mekanisme pasar dan dunia industri. Program seperti job fair atau pembukaan jurusan vokasi di sekolah memang terlihat populis, namun faktanya tidak menjawab kebutuhan nyata. Job fair tidak menyelesaikan persoalan ketika industri justru melakukan PHK. Begitu pula pendidikan vokasi, yang meski menghasilkan lulusan terampil, tetap tak mampu menjamin masa depan kerja ketika kesempatan kerja itu sendiri minim.
Dalam konteks Maluku Utara, paradoks ini semakin terlihat. Daerah yang dikenal dengan cadangan tambang nikel dan emas, serta potensi maritim yang besar, seharusnya mampu menyerap tenaga kerja lokal dalam jumlah besar. Namun kenyataannya, lapangan kerja justru lebih banyak dinikmati oleh tenaga kerja dari luar daerah atau bahkan tenaga asing. Anak muda Maluku Utara yang semestinya menjadi tuan rumah malah tersisih di tanahnya sendiri.
Masalah ini menegaskan bahwa selama sistem kapitalisme masih menjadi fondasi ekonomi, pengangguran akan tetap menjadi momok menakutkan. Bagi anak muda, mimpi masa depan sering kali berubah menjadi mimpi buruk.
Jalan Keluar dalam Sistem Islam Kaffah
Di tengah kegagalan kapitalisme, Islam menawarkan solusi kaffah yang bersifat fundamental. Dalam Islam, negara dipimpin oleh seorang khalifah yang berfungsi sebagai ra‘in (pengurus urusan rakyat). Negara tidak boleh lepas tangan dalam urusan pekerjaan, sebab menyediakan lapangan kerja adalah bagian dari tanggung jawabnya terhadap rakyat.
Pertama, negara dalam Islam menjamin ketersediaan lapangan kerja melalui kebijakan riil seperti penyediaan tanah produktif, fasilitasi modal, industrialisasi berbasis kebutuhan rakyat, dan pembangunan sektor riil yang melibatkan tenaga kerja dalam jumlah besar. Dengan begitu, rakyat tidak hanya menunggu belas kasihan pasar, melainkan benar-benar mendapatkan akses pada pekerjaan.
Kedua, distribusi kekayaan dalam Islam diatur agar tidak menumpuk pada segelintir orang. Mekanisme zakat, larangan riba, larangan monopoli, serta pengelolaan sumber daya alam oleh negara memastikan bahwa hasil bumi dan tambang dimanfaatkan untuk kepentingan rakyat secara luas, bukan untuk segelintir korporasi. Dengan cara ini, anak muda di daerah seperti Maluku Utara akan lebih memiliki kesempatan mengakses manfaat sumber daya alam di wilayahnya sendiri.
Ketiga, sistem pendidikan Islam bukan sekadar mencetak lulusan siap kerja secara teknis, tetapi juga membentuk generasi berkepribadian Islam dengan keahlian yang terarah. Pendidikan dalam Islam menyiapkan SDM yang bukan hanya kompeten, melainkan juga memiliki integritas, sehingga siap mengelola kehidupan ekonomi, sosial, dan politik secara bertanggung jawab.
Dengan penerapan Islam kaffah, masalah pengangguran bukan sekadar dikurangi secara kosmetik, melainkan benar-benar diselesaikan secara mendasar. Negara menjadi pelindung rakyat, bukan sekadar regulator pasar. Anak muda bukan lagi korban sistem, melainkan generasi produktif yang menjadi motor peradaban.
Penutup
Krisis tenaga kerja global dan meningkatnya pengangguran di kalangan anak muda, baik di level nasional maupun daerah seperti Maluku Utara, adalah bukti nyata kegagalan kapitalisme dalam mewujudkan kesejahteraan. Sistem ini menempatkan rakyat, terutama generasi muda, pada posisi korban. Saatnya umat menyadari bahwa solusi parsial tidak cukup. Hanya dengan penerapan Islam kaffah, peran negara sebagai pengurus rakyat dijalankan secara penuh, dan distribusi kekayaan berjalan adil, maka generasi muda akan mendapatkan masa depan yang layak. Wallahu’alam. (*)