google.com, pub-1253583969328381, DIRECT, f08c47fec0942fa0

Sagu untuk Makanan Bergizi Gratis, Mungkinkah?

TERNATE, NUANSA

google.com, pub-1253583969328381, DIRECT, f08c47fec0942fa0

 

DEMIKIAN judul topik yang diinisiasi oleh Dr. (cd) Rajah Indrayana, penggiat Sagu Indonesia yang tergabung dalam MASSI (Masyarakat Sagu Indonesia), yang juga eks ASN Kabupaten Halmahera Barat. Didukung oleh kawan-kawan eks Dinas PU Maluku Utara. Bertempat di Warung Kopi Bang Ucu Aceh Bacamu Food Court Ternate, menggandeng Prof Ahmad Guru Besar UMMU yang juga Ketua Yayasan PUKAT Maluku Utara, Dr. Anto Hodaselaku  Ketua STPK Banau Halbar dan Subhan Somola, ASN penggiat sagu dan pemberdayaan dari Halmahera Tengah.

Topik yang diangkat bekenaan dengan ditetapannya sagu sebagai program strategis nasional dan proram makan bergizi gratis (MBG) yang mengutamakan bahan baku lokal. Sagu yang sudah lama ditinggal oleh pemerintah daerah, menyebabkan kebun sagu luasannya semakin berkurang akibat alih fungsi lahan, baik untuk pembangunan, industri pertambangan, pencetakan sawah, gedung  maupun program perkebunan kelapa,

Program MBG yang dicanangkan oleh pemerintahan Prabowo dan Gibran, diharapkan bisa menjadi ujung tombak bagi revitaliasi kebun sagu yang kurang menjadi perhatian dari pemerintahan pusat dan daerah. Banyak lahan sagu yang terlantar karena alih fungsi lahan sagu dan juga tumbuhnya kegiatan ekonomi baru akibat dari bertumbuhnya industri-industri pertambangan di Provinsi Maluku Utara. Padahal sagu merupakan bahan pokok dan identitas masyarakat Maluku Utara.

Program MBG yang dicanangkan oleh pemerintah pusat adalah peluang untuk pengembangan produk-produk pangan lokal yang murah dan mudah yang didapatkan oleh masyarakat. Seiring dengan hal tersebut maka posisi sagu sebagai bahan pangan lokal bisa dimodifikasi menjadi beras analog yang dapat diterima oleh masyarkat. Sehingga program MBG dapat memperkuat posisi sagu mulai dari hulu sampai hilir. Program MBG tidak berati mengeksploatasi kebun sagu, karena sifat sagu yang baru bisa dipanen setelah usianya minimal 8 tahun sehingg pemetaan sagu dilakukan dengan prinsip keberlanjutan.

Sagu untuk MBG sangat layak apabila harga tepung sagu relatif murah yang bisa dicapai dengan penggunaan mesin produksi yang efisiensi dan produktivitas tinggi. Dan apabila dibentuk seperti beras pun, harga akhirnya tidak jauh berbeda dengan harga beras padi.

Dalam diskusi yang bertajuk Sagu untuk MBG, mungkin kah? Menghadirkan tiga narasumber yang pertama adalah Dr.Ir Anto Hoda yang menyatakan bahwa, sagu sebagai sebagai sumber karbohidrat, sangat layak untuk dimasukkan dalam Program MBG, mengingat kandungan karbohidranya tidak jauh berbeda dengan beras, bahkan mempunyai kelebihan karena kandungan serat pangan yang tinggi, tidak mudah dicerna sehingga menjadikan sagu tidak menyebabkan kenaikan gula darah sebagaimana beras padi.

Subhan Somola, berenpedapat bahwa, menjadikan Sagu sebagai Penyedia Karbohidrat agar diatur sedemikian rupa sehingga ketersediaan bahan baku industri kecil dapat bertahan dan tumbuh dengan baik. Hal ini disebabkan karena dibeberapa tempat  mulai kesulitan  bahan bahu akibat alih fungsi lahan Sagu. Dan tradisi makan sagu yang sudah ada saat ini seperti mengkonsumsi Sagu dalam bentuk Sagu Lempeng dan papeda perlu dipertimbangkan juga kalau sagu akan dimasukkan dalam program MBG. Memang tidak harus setiap hari, setidaknya bisa berselang seling dengan Sagu dalam bentuknya Beras atau Mie.

(Merangkum dari tiga pendapat diatas, Prof. Ahmad yang sudah banyak meneliti masalah pangan dan pemberdayaan Mayarakat, menekankan pada persoalan hulu sampai hilir tentang pengelolaan apabila sagu akan dimasukkan dalam Program MBG, karena harus memerlukan riset dan kajian yang mendalam tentang peran sagu sebagai salah satu bahan pengganti nasi. Perlu dilakukan diversifikasi produk sagu menjadi berbagai produk misalnya dalam bentuk beras analog, mi serta produk turunan lain baik sebagai makanan berat maupun dalam bentuk cemilan yang berbahan dasar sagu. Perlu dihitung juga tentang daya dukung sumberdaya kebun sagu di Maluku Utara, jangan sampai di tengah jalan terhambat masalah ketersediaakn bahan baku, mengingat luasan kebun sagu yang semakin lama semakin menurun.   Disisi lain belum ada upaya untuk melakukan reboisasi atau penanaman kembali. Pada prinsipnya budaya makan sagu untuk masyarakat Maluku utara bisa digalakkan kembali dengan program one day no rice. Program ini memungkinkan apalagi dengan beragamnya sumber bahan baku lain yang bisa disinergikan dengan ketersediaan bahan baku lokal. Dengan demikian maka perlu dilakukan upaya yang signifikan untuk memperbaiki kualitas dan mutu produk yang menyamai beras sehingga produk tersebut, dapat diterima oleh masyarakat. Asalkan dengan harga yang terjangkau dan dengan desain kemasan yang menarik konsumen serta keamanan produk tetap terjaga, daya tahannya semakin meningkat dan ketersediaannya tetap terjaga.)

Sedangkan para peserta sangat antusias dengan memberikan pertanyaan dan masukan tentang manfaat sagu sebagai bahan pangan yang sangat baik untuk kesehatan karena tinggi serat kalsium dan zat besi. Sehingga ada usulan untuk membuat industry sagu di Maluku Utara untuk memenuhi kebutahan sagu yang terus meningkat. Bahkan ada yang mengusulkan untuk membuat sagu popeda instan dengan petunjuk cara pembuatannya sehingga orang lain diluar Maluku Utara yang ingin mencoba sudah bisa melakukan sendiri. Diskusi semakin asik hingga larut karena disuguhi aneka masakan berbahan dasar sagu mulai dari jenis kue, beras analog dari sagu, mi sagu dan lainnya yang sangat menggugah selera. Dan rata-rata peserta menyatakan rasanya enak, lebih kenyang bentuknya seperti beras padi bahan berasa lebih lunak dan agak kenyal, walapun warnanya tidak sebagus beras padi yang terpenting kata mereka menyehatkan.

google.com, pub-1253583969328381, DIRECT, f08c47fec0942fa0
Exit mobile version