TERNATE, NUANSA – Hingga kini belum ada kejelasan soal alasan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Perwakilan Provinsi Maluku Utara mengenai pemeriksaan dengan tujuan tertentu (PDTT) atas penyelenggaraan keuangan Pemprov Malut tiga tahun anggaran sebelumnya yakni 2021, 2020 dan 2019.
Hal tersebut disampaikan Akademisi Fakultas Hukum, Universitas Khairun Ternate, Abdul Kadir Bubu, kepada Nuansa Media Grup (NMG), Selasa (27/12).
“Karena itu, sebaiknya BPK menghentikan pemeriksaan itu karena hanya mencoreng muka sendiri dan fokus pada audit/pemeriksaan tahun anggaran 2022 yang dalam amatan saya sangat bermasalah, dan beralasan secara hukum bagi BPK untuk menjalankan mekanisme audit secara tegas dan ketat,” ujar Abdul Kadir.
Menurutnya, ada banyak pengelolaan anggaran yang diduga salah sasaran, bahkan terkesan dilakukan secara ugal-ugalan semisal anggaran bansos yang dikelola DPRD Provinsi Malut yang dititipkan ke berbagai dinas. Bahkan kabupaten dan kota yang kemudian dikelola oleh organisasi yang ditunjuk oleh oknum anggota DPRD dengan metode belah semangka sebagai imbalan balik dari kompromi dua pihak.
Lebih lanjut, kandidat Doktor Hukum Administrasi Negara Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta ini menegaskan bahwa penting bagi BPK untuk mendalami anggaran bansos itu lantaran angkanya tidak sedikit, yakni kurang lebih Rp 26 miliar. Dari informasi yang berkembang, banyak sekali organisasi yang mendapat kucuran anggaran bansos tersebut, namun tidak terlihat jelas kegiatannya.
“Adapun besarannya bekisar Rp 500 juta sampai Rp 600 juta per organisasi. Ini adalah uang rakyat, sehingga penting diungkap kejelasan penggunaannya, siapa saja anggota DPRD yang bermain di sini dan apa saja organisasi yang menerima bansos itu harus dibuka ke publik, agar anggaran publik yang tidak sedikit jumlahnya itu bisa diketahui kejelasan penggunaannya,” pungkasnya. (tan)