Oleh: Mohammad Eko Duhumona
Penggiat Pilas Institute
__________________________
MANUSIA adalah makhluk sosial dalam bermasyarakat. Selain hidup tanpa orang lain, mereka juga menginginkan agar dihargai sebagai bagian dari anggota masyarakat tempat mereka tinggal atau dalam lingkungan mereka. Perasaan ini akan menimbulkan adanya kepedulian, serta dukungan berbentuk semangat saling kerja sama sebagai anggota masyarakat, sebagaimana peran seorang pemimpin adalah sebagai pelayan rakyat untuk memberikan arahan dan kontribusi, menginspirasi orang lain, membantu menciptakan lingkungan yang kondusif untuk kesuksesan dengan meningkatkan komunikasi dan kolaborasi di tempat ia memimpin.
Provinsi Maluku Utara adalah salah satu provinsi yang ada di Indonesia, dengan sistem pemerintahan daerah tingkat 1 di Indonesia yang dikepalai oleh seorang kepala daerah yang merupakan seorang gubernur yang didampingi oleh wakilnya, layaknya provinsi lainnya, sampai pada tingkat pemerintahan desa (kades) adalah seseorang yang dipilih masyarakat untuk menjalankan pemerintahan tingkat desa yang mempunyai wewenang, tugas dan kewajiban untuk menyelenggarakan pembangunan desa, pengembangan masyarakat desa, pemberdayaan masyarakat desa dan melaksanakan tugas dari pemerintah.
Namun naasnya masih ada tindakan-tindakan pemerintahan desa di Maluku Utara yang tidak mencerminkan moral seorang pemimpin, di mana mengabaikan problem sosial yang ada di tengah-tengah masyarakatnya seperti yang dicerminkan oleh Kepala Desa Wailukum dan Kepala Desa Maba Sangaji, Kecamatan Kota Maba, Kabupaten Halmahera Timur, Provinsi Maluku Utara, melalui surat pernyataan penolakan aksi, yang dilakukan oleh 27 masyarakatnya dalam mempertahankan tanah mereka yang dikeruk habis oleh investor pertambangan. 27 masyarakat yang melakukan penolakan ditahan oleh Polda Maluku Utara. Dari 27 orang, 16 di antaranya dibebaskan, sedangkan 11 orang ditetapkan sebagai tersangka oleh Polda Maluku Utara. Setelah 11 orang ditetapkan sebagai tersangka, melalui surat pernyataan penolakan aksi ini kita bisa melihat bahwa mereka mencoba lari dari tanggung jawabnya sebagai seorang kepala desa, betapa kuatnya mereka melihat penderitaan kemanusian yang terjadi di tengah masyarakatnya, apakah sekeji itukah kalian mencoba untuk bersembunyi agar tidak terseret dalam masalah itu.
Namun tidak berhenti sampai di situ, hal yang sama juga dilakukan oleh Kepala Desa Waiboga, Kecamatan Sulabesi Tengah, Kabupaten Kepulauan Sula, Provinsi Maluku Utara, sebagai seorang pemimpin yang terpandang bukan menunjukan loyalitas dalam bekerja maupun kepedulian terhadap masyarakatnya, tapi sebaliknya menunjukkan ketidakpeduliannya terhadap rakyatnya dengan narasi-narasi yang sangat arogan dan sombong. Hal ini terbukti saat mahasiswa Waiboga yang tergabung dalam Front Revolusi untuk Waiboga melakukan demonstrasi. Pada saat hering bersama kepala desa di gedung badan permusyawaratan desa (BPD) dengan beberapa tuntutan yang dibawa 1) Pembentukan BUMDes tidak sesuai dengan regulasi. 2) pemerintah Desa Waiboga tidak transparansi soal anggaran dana desa (ADD) dll. Dan massa aksi meminta pertanggungjawaban dari pemerintah desa dalam hal ini kepala Desa Waiboga, dan masyarakat Waiboga menginginkan beliau mengundurkan diri dari jabatannya. Namun naas sekali, kepala Desa Waiboga dalam merespons aspirasi masyarakat dengan narasi yang tidak semestinya dikeluarkan seorang pemimpin, tapi dengan kepercayaan dirinya ia mengatakan kalian masyarakat semuanya suka/tidak suka kalian tetap masyarakat saya, karena beliau menganggap beliau adalah pejabat yang diangkat langsung oleh Bupati Kepulauan Sula.
Hal ini menunjukan ketidakmampuan dalam kapasitas etika berkomunikasi dan moralitas seorang kepala desa (kades) dengan masyarakatnya yang mempunyai hak untuk mengkritisi kebijakan-kebijakan pemerintahan, sebagaimana hal ini juga diatur dalam pasal 28E Ayat 3 Undang-undang Dasar (UUD) 1945 yang menyatakan bahwa “setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat”.
Pemimpin yang tidak mempunyai moralitas maka isi hati atau keadaan perasaanya sebagaimana terungkap dalam perbuatanya, sebagaimana yang disampaikan oleh seorang tokoh yang pemberani dan mempunyai akhlak budi pekerti yang baik yakni Ali bin Abi Thalib ”pemimpin yang adil meskipun kafir, lebih baik daripada pemimpin yang beragama Islam tapi zalim.” Pemimpin itu harus “visioner” (memiliki pengetahuan), memiliki “kepedulian” dan “keberanian mental” untuk membawa perubahan mendasar bagi bangsanya. Jikalau pemimpin yang tidak mempunyai kapasitas intelektual pengambilan keputusan yang buruk dan kurangnya kredibilitas, dapat menurunkan produktivitas dan motivasi masyarakatnya, pemimpin yang tidak berpengetahuan dapat merusak sistem pemerintahan dan membuatnya kehilangan kepercayaan masyarakat.
Maka jadilah seorang pemimpin yang mendengarkan aspirasi rakyat, transparan dalam pengambilan keputusan, empati dengan kebutuhan dan perasaan rakyat, partisipatif dalam melibatkan rakyat, pemimpin seperti ini akan meningkatkan kepercayaan rakyat dan partisipasi rakyat, jangan seperti pemimpin yang hanya mementingkan kepentingan pribadi dan kepentingan kelompok maka itu akan membawa pengaruh buruk terhadap sistem pemerintahan. Olehnya itu, jadilah pemimpin yang berdiri sama tinggi, duduk sama rata dan merasakan penderitaan yang sama dirasakan rakyatnya sebagaimana yang dicontohkan oleh Abraham Lincoln dan Mahatma Gandhi “pemimpin yang dikenal karena komitmenya pada demokrasi dan hak-hak rakyat”. (*)