Opini  

Dari Perjuangan Menjadi Pengkhianatan

Oleh: Riyanto Basahona

______________________________

DUA puluh dua tahun sejak pemekaran Kabupaten Kepulauan Sula adalah waktu yang cukup panjang untuk belajar, tumbuh, dan berkembang. Sejak resmi menjadi daerah otonom pada tahun 2003, Sula seharusnya telah mampu menunjukkan jati dirinya sebagai daerah yang mandiri dalam mengelola sumber daya, melayani masyarakat, dan merancang pembangunan jangka panjang. Namun, kenyataan yang kita hadapi hari ini justru sebaliknya. Masalah-masalah klasik masih menjadi keluhan harian masyarakat: listrik PLN padam tanpa kejelasan, air PAM mengalir semaunya, jalan rusak seolah dibiarkan menjadi pemandangan biasa, serta lapangan kerja yang sempit dan akses pendidikan yang masih sangat rumit karena ketiadaan guru tetap di pelosok.

Dalam usia lebih dari dua dekade, semua keluhan itu seharusnya sudah tidak terdengar lagi. Pemekaran bukan semata-mata pemisahan wilayah secara administratif, melainkan sebuah jalan untuk mempercepat pemerataan pembangunan dan meningkatkan kesejahteraan rakyat. Tokoh otonomi daerah, Prof. Ryaas Rasyid, pernah menyatakan bahwa tujuan pemekaran adalah memberikan peluang kepada daerah untuk mempercepat pembangunan melalui desentralisasi kewenangan. Maka jika dalam waktu 22 tahun, Kabupaten Kepulauan Sula belum mampu menyelesaikan persoalan dasar rakyat, ini bukan lagi soal keterbatasan, tapi soal ketidakseriusan.

Salah satu alasan paling mendasar dari pemekaran wilayah adalah untuk mendekatkan dan mempermudah pelayanan administrasi publik. Warga tidak lagi harus menempuh jarak jauh untuk mengurus KTP, akta kelahiran, surat keterangan, dan keperluan lainnya. Namun ironi yang terjadi di Kepulauan Sula adalah justru sebaliknya: pelayanan publik tersendat oleh sikap tak acuh, ketidakhadiran pegawai, bahkan tidak adanya standar pelayanan yang baik. Banyak masyarakat yang mengeluh bahwa untuk mengurus satu dokumen saja membutuhkan waktu berminggu-minggu. Birokrasi menjadi berbelit-belit, dan petugas publik kerap kali tidak hadir tepat waktu, atau bahkan tidak hadir sama sekali.

Kondisi ini melahirkan ungkapan sinis di tengah masyarakat: “hilang kambing, musti jual sapi agar pencuri kambing tadi bisa ditangkap.” Artinya, untuk mendapatkan hak dasar, rakyat harus mengorbankan lebih dari yang seharusnya. Ingin mengurus surat penting, harus keluar ongkos besar. Ingin bertemu pejabat, harus “kenal orang dalam”. Semua ini mencerminkan bahwa bukan hanya sistem yang rusak, tapi juga nurani pelayanan publik yang telah mati suri.

Tak kalah genting adalah sektor kesehatan. RSUD Sanana, sebagai rumah sakit rujukan satu-satunya di kabupaten ini, masih belum mampu memberikan rasa aman bagi masyarakat. Fasilitas medis yang terbatas, kekurangan dokter spesialis, pelayanan yang lamban, dan manajemen rumah sakit yang jauh dari kata profesional menjadikan rumah sakit ini bukan tempat penyembuhan, tapi seringkali justru dianggap tempat terakhir—tempat “mengantar nyawa”. Banyak keluarga pasien yang merasa RSUD Sanana lebih banyak memberi rasa takut daripada harapan. Dalam kondisi kritis, masyarakat terpaksa mencari rujukan ke luar daerah dengan biaya tinggi dan risiko besar, sesuatu yang seharusnya tak perlu terjadi di usia daerah yang sudah dewasa.

Kegagalan ini menjadi semacam “kutukan para pendahulu”—bukan dalam pengertian mistis, tetapi sebagai bentuk kekecewaan para pejuang awal pemekaran. Para pendahulu yang memperjuangkan terbentuknya kabupaten ini tidak mengharapkan gedung megah atau panggung upacara. Mereka berjuang dengan satu harapan besar: agar anak cucu mereka bisa hidup sejahtera, mendapatkan pendidikan yang layak, menikmati infrastruktur yang memadai, pelayanan publik yang manusiawi, serta memiliki masa depan yang lebih baik. Namun apa yang terjadi? Amanat suci mereka justru dikhianati oleh generasi yang kini berkuasa.

Pemerintah daerah dari masa ke masa tampaknya belum memahami betul makna dari perjuangan itu. Banyak dari mereka lebih sibuk merancang agenda-agenda seremonial dibanding menyusun program pembangunan yang menyentuh akar persoalan masyarakat. Di saat rakyat mengeluh tentang guru yang tak datang mengajar, para pejabat sibuk menghadiri rapat dan kegiatan formalitas yang menguras anggaran. Di saat warga desa mengeluh tentang air bersih dan jalan berlubang, pemerintah sibuk mempersiapkan festival dan studi banding ke luar daerah yang tak memberi dampak nyata.

Yang lebih menyedihkan, bukan hanya ketidakmampuan menyelesaikan masalah, tetapi juga munculnya pola kekuasaan yang mengarah pada pecah belah. Alih-alih menyatukan rakyat untuk berkolaborasi membangun daerah, para pemimpin justru menciptakan konflik horizontal: rakyat diadu dengan rakyat, rakyat diadu dengan aparat bawah, dan yang bertahan di lingkaran kekuasaan adalah mereka yang pandai menjilat dan mengkhianati nurani. Ini bukan sekadar kemunduran politik, melainkan kemunduran moral.

Situasi ini menciptakan atmosfer yang tidak sehat dalam kehidupan bermasyarakat. Kepercayaan publik terhadap pemerintah terus menurun, dan partisipasi masyarakat dalam pembangunan semakin lesu. Mereka merasa tidak lagi dilibatkan, hanya dibutuhkan saat pemilu tiba. Setelah itu, suara mereka menguap bersama janji-janji kosong yang tak pernah ditepati. Pemerintahan yang seharusnya hadir sebagai pelayan rakyat justru menjelma menjadi menara gading yang tak terjangkau.

Apakah ini yang dulu diperjuangkan oleh tokoh-tokoh pemekaran? Apakah mereka rela melihat daerah yang mereka bela dengan darah dan air mata menjadi seperti ini? Tentu tidak. Mereka bermimpi bahwa Sula akan menjadi daerah maju, mandiri, dan sejahtera. Tapi harapan itu kini berubah menjadi beban sejarah, yang menghantui generasi hari ini. Kita seolah hidup dalam kutukan kegagalan yang terus diulang, dari satu rezim ke rezim lainnya.

Harus diakui, tidak semua pemimpin gagal. Ada beberapa tokoh yang memiliki semangat membangun. Tapi semangat itu sering kandas oleh sistem birokrasi yang korup, oleh budaya politik yang transaksional, dan oleh pengaruh elit-elit yang hanya memikirkan keuntungan pribadi dan kelompok. Maka yang muncul ke permukaan bukanlah pemimpin dengan visi, melainkan penguasa dengan ambisi.

Sula tidak akan pernah berubah jika kita terus terjebak dalam lingkaran ini. Harus ada keberanian untuk berkata jujur, untuk mengkritik, dan untuk mengusulkan perubahan. Masyarakat perlu membuka mata dan tidak lagi terbuai oleh janji-janji palsu. Kemandirian daerah tidak akan lahir dari seremoni dan pencitraan, tapi dari kerja keras, perencanaan yang matang, dan keberanian mengambil keputusan yang menyentuh kebutuhan rakyat.

Kini saatnya kita bertanya: apakah 22 tahun ke depan akan diisi dengan kegagalan yang sama? Atau kita akan berani memutus rantai kegagalan ini dan kembali pada cita-cita awal pemekaran? Jawabannya ada pada kesadaran kolektif kita sebagai masyarakat dan keberanian moral para pemimpin kita.

Jika tidak, maka kutukan para pendahulu itu akan terus hidup. Bukan karena mereka mengutuk, tetapi karena kita sendiri yang terus-menerus mengkhianati perjuangan mereka. (*)

Exit mobile version