Oleh: Riyanto Basahona
Mahasiswa Pascasarjana IAIN Ternate
___________________
PERAYAAN Hari Ulang Tahun ke-22 Kabupaten Kepulauan Sula seharusnya menjadi momen refleksi mendalam atas capaian dan kegagalan selama lebih dari dua dekade pemekaran daerah. Namun, euforia pesta dan kemeriahan acara hiburan justru menenggelamkan suara-suara pilu dari desa-desa pelosok. Salah satunya adalah Desa Wailoba di Kecamatan Mangoli Tengah, tempat berdirinya SMP Negeri 3 Satu Atap, sekolah yang secara fisik dan moral kini telah berada di ambang kehancuran.
Sekolah ini, yang seharusnya menjadi tempat suci menanam benih ilmu dan karakter, kini berubah menjadi sisa bangunan lapuk yang mengancam keselamatan. Atapnya berlubang, plafonnya nyaris runtuh, dan ketika hujan turun, air mengguyur langsung ke dalam kelas. Siswa dan guru tak hanya berjuang memahami pelajaran, tetapi juga berjuang bertahan dari bahaya bangunan yang nyaris ambruk. WC sekolah yang lebih pantas disebut sebagai “rumah hantu” menjadi potret nyata dari ketidakpedulian pemerintah terhadap hak dasar anak-anak untuk belajar dalam lingkungan yang aman dan bermartabat.
Ironisnya, di balik kondisi mengenaskan ini, pemerintah daerah justru menggelar perayaan mewah HUT Kabupaten dengan anggaran yang fantastis. Artis didatangkan, makanan mewah disediakan, bahkan digelar pencatatan rekor MURI makan cokelat massal di istana daerah—sebuah pertunjukan yang lebih mencerminkan kegagalan pemerintah dalam keadaan sadar, daripada sebuah prestasi yang layak dibanggakan. Ketika generasi muda di pelosok belajar di bawah atap bocor dan tanpa guru agama, rekor makan cokelat justru dijadikan simbol kebanggaan. Ini bukan sekadar ironi, ini adalah tamparan keras terhadap nurani kepemimpinan.
Inilah wajah ketimpangan pembangunan yang sesungguhnya: memilih pesta daripada pendidikan. Padahal, pembangunan yang sejati bukan diukur dari megahnya panggung acara atau banyaknya dokumentasi di media sosial, tetapi dari kuatnya fondasi sekolah dan kokohnya akhlak generasi muda.
Kekurangan guru menjadi masalah utama lainnya. Di SMPN 3 Satap Mangoli Tengah, jumlah guru sangat terbatas. Tidak ada kantor guru, sehingga para pengajar harus antre mengajar di emperan kelas. Bagaimana bisa kualitas pendidikan terbangun jika sistem pengajarannya seperti ini?
Lebih menyedihkan lagi, tidak ada guru Pendidikan Agama Islam (PAI) yang profesional di sekolah ini. Hal ini sangat berbahaya, sebab di tengah kemerosotan moral yang makin tajam, anak-anak dibiarkan tumbuh tanpa pembinaan akhlak dan spiritual yang layak. Pendidikan agama tidak boleh dianggap pelengkap, melainkan kebutuhan mendasar untuk membentengi generasi dari penyimpangan sosial.
Kita tidak bisa menutup mata terhadap fakta sosial yang muncul dari kekosongan pendidikan ini. Baru-baru ini, Desa Wailoba diguncang oleh kasus pencabulan anak di bawah umur, yang dilakukan oleh pemuda-pemuda yang juga masih di bawah umur. Mereka adalah anak-anak yang putus sekolah, hidup tanpa bimbingan, dan gagal membedakan benar dan salah. Ini adalah buah pahit dari pendidikan yang diabaikan, terlebih pendidikan agama yang sejatinya menjadi fondasi moral sejak dini.
Prof. Dr. H. Azyumardi Azra, seorang cendekiawan Muslim Indonesia, pernah menyatakan bahwa pendidikan agama adalah pilar dalam pembentukan manusia Indonesia yang utuh: berilmu, beradab, dan beriman. Tanpa pendidikan agama, pendidikan hanya akan menghasilkan generasi cerdas yang kehilangan nurani. Inilah yang kini terjadi di banyak daerah tertinggal seperti Wailoba. Anak-anak belajar dalam keterbatasan, dan ketika putus sekolah, mereka terseret dalam pusaran kejahatan dan kenakalan sosial.
Dalam pandangan al-Ghazali, anak adalah amanah yang suci. Jika dibentuk dalam kebaikan, maka tumbuhlah kebaikan. Jika dibiarkan, maka kerusakanlah yang akan tumbuh. Maka dari itu, kekosongan pendidikan agama di sekolah adalah pengkhianatan terhadap amanah Ilahi dan terhadap masa depan bangsa. Pemerintah daerah tidak bisa lagi menutup mata. Mereka harus bertanggung jawab atas kerusakan moral yang terjadi akibat kelalaian mereka sendiri.
Namun demikian, tanggung jawab membangun pendidikan di desa tidak hanya berada di pundak pemerintah kabupaten dan pusat. Pemerintah desa juga tidak boleh menutup mata terhadap masalah-masalah pendidikan yang terjadi di lingkungan mereka. Kepala desa dan perangkatnya harus menunjukkan peran aktif dalam mendorong pembangunan fasilitas pendidikan, mengawal kebijakan pendidikan, bahkan bila perlu menggandeng LSM, tokoh masyarakat, dan pihak swasta untuk membantu membenahi sekolah-sekolah yang rusak. Ketika semua pihak bersinergi, solusi akan lebih mudah tercapai.
Pemerintah seharusnya menyadari bahwa memperbaiki sekolah dan menyediakan guru agama bukanlah soal anggaran semata, tapi soal niat politik dan kemauan moral. Tak ada alasan untuk tidak segera merenovasi bangunan SMPN 3 Satap Mangoli Tengah. Tak ada alasan untuk tidak menempatkan guru agama yang profesional dan menetap di desa. Ini adalah soal prioritas. Jika pesta ulang tahun bisa digelar besar-besaran dan rekor MURI dikejar-kejar, maka memperbaiki sekolah seharusnya bukan hal yang mustahil.
Dalam kondisi seperti ini, peran Kementerian Agama dan Kementerian Pendidikan juga perlu diperkuat dalam pengawasan dan distribusi tenaga pendidik. Pemerintah provinsi dan pusat tidak boleh tinggal diam, seolah ini hanyalah urusan kabupaten. Ini adalah masalah nasional, karena setiap anak Indonesia termasuk yang berada di pelosok Wailoba berhak atas pendidikan yang layak, baik secara akademik maupun spiritual.
Lebih jauh, pembangunan daerah tidak boleh hanya berorientasi pada fisik dan infrastruktur semata. Pembangunan manusia, khususnya dari aspek pendidikan dan akhlak, harus menjadi prioritas utama. Tanpa itu, sekolah megah pun tak akan berarti, dan perayaan HUT hanyalah topeng dari kegagalan pembangunan yang sesungguhnya.
Masyarakat Wailoba tidak menuntut pesta atau kado mewah. Mereka hanya ingin anak-anak mereka bisa belajar dengan aman, memiliki guru agama yang membimbing, dan mendapatkan harapan untuk masa depan yang lebih baik. Permintaan ini bukanlah kemewahan—ini adalah hak konstitusional yang dijamin oleh Undang-Undang.
jika pemimpin daerah dan desa tidak segera bertindak, maka sejarah akan mencatat mereka bukan sebagai pelayan rakyat, tapi sebagai generasi yang membiarkan sekolah hancur dan generasi pun terkubur. Saatnya bergerak. Pendidikan adalah prioritas, bukan pilihan. (*)