Opini  

Raja Ampat Dirampas oleh Raja Gemuk

Oleh: Riski Ikra
Ketua Umum PK IMM FAPERTA UMMU

______________

RAJA Ampat bukan sekadar gugusan pulau nan menawan. Ia adalah rumah, nadi kehidupan, dan jejak peradaban tua yang disulam oleh keringat, darah, dan doa para leluhur. Namun kini, suara laut yang dulu tenang mulai bergetar. Bukan karena badai, tapi oleh gelombang ketamakan yang datang dari balik meja birokrasi dan jas rapi para investor.

Saya menyebut mereka sebagai “Raja Gemuk” simbol kekuasaan rakus yang mengenakan topeng kebaikan. Mereka datang bersenjatakan narasi “pembangunan” yang manis di bibir, namun pahit di kenyataan. Mereka tidak datang untuk mendengar suara adat, tetapi untuk mengubah tanah menjadi angka, laut menjadi saham, dan manusia menjadi penonton di atas tanah warisan mereka sendiri. Ini bukan lagi dongeng masa lalu, tetapi kenyataan pahit yang dialami oleh masyarakat adat terutama mereka yang hidup di sekitar tambang yang haknya digerus, suaranya dibungkam, dan dipaksa tunduk atas nama kemajuan yang tak pernah mereka lihat wujudnya.

Ketika Raja Bukan Lagi Pelindung

Dahulu, kekuasaan di Raja Ampat bukanlah sekadar simbol. Ia berakar kuat pada struktur kerajaan lokal dan tokoh adat seperti Raja Salawati, Waigeo, Misool, dan Batanta. Mereka bukan hanya memimpin secara lahiriah, tetapi juga menjadi penjaga nilai-nilai sosial dan ekologis masyarakat. Para raja ini tidak menganggap tanah sebagai milik pribadi, tetapi sebagai titipan leluhur yang wajib dijaga dan diwariskan. Mereka memahami bahwa laut bukan sekadar sumber ekonomi, tetapi jantung kehidupan yang menghubungkan relasi spiritual, sosial, dan ekologis masyarakat adat.

Dalam perspektif Fikret Berkes dalam bukunya Sacred Ecology (2012), hubungan masyarakat adat dengan lingkungan tidak dibangun atas dasar kepemilikan individu, tetapi berdasarkan prinsip keseimbangan dan tanggung jawab lintas generasi. Para raja di Raja Ampat menjalankan peran ini dengan kesadaran akan keberlanjutan. Laut, hutan, dan tanah bukan benda mati yang bisa diperjualbelikan, tetapi bagian dari sistem hidup yang menyatu dengan identitas dan kosmologi mereka.

Namun kini, wajah kekuasaan telah berubah. Yang berkuasa bukan lagi raja adat, tetapi “raja gemuk” yang berlindung di balik nama korporasi, didukung oleh aparat dan regulasi negara yang telah kehilangan roh kebudayaannya. Mereka masuk melalui celah “izin” dan “kerja sama strategis”, lalu menanam modal dengan cangkul ekskavator. Hutan dikuliti, laut dibatasi, dan masyarakat adat dijadikan etalase eksotis dalam brosur pariwisata.

Raja Ampat dalam Cengkeraman Kapital

Penulis menyaksikan wajah kerakusan itu terpampang jelas ketika Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Republik Indonesia, Bahlil Lahadalia, angkat suara mengenai hilirisasi di Raja Ampat. Dalam pernyataannya yang dilansir CNNIndonesia.com, ia menyebut bahwa Indonesia saat ini tengah mendorong pertumbuhan ekonomi melalui berbagai proyek hilirisasi. Ia bahkan menduga adanya pihak asing yang tidak senang dengan proyek ini (Jakarta, Kamis 5/6).

Dari pernyataan ini, terlihat jelas bahwa masyarakat adat di mata kekuasaan hanyalah simbol objektif mereka dianggap tidak berarti apa-apa dalam kerangka pembangunan nasional. Mereka tidak dipandang sebagai subjek hidup yang memiliki hak, tetapi hanya sebagai bayang-bayang yang mudah disingkirkan demi ambisi ekonomi yang terus menggerus ruang hidup mereka.

Lebih ironis, menghentikan investasi PT GAG Mineral tampak seperti langkah mustahil bagi para pemegang kuasa. Pertanyaannya: siapa yang sebenarnya dirugikan? Negara? Perusahaan? Atau justru masyarakat adat yang kehilangan segala hal? Ruang hidup mereka direduksi menjadi urusan administratif semata. Padahal kita tahu, bahkan sebutir karang pun dijaga penuh cinta oleh masyarakat adat. Tapi mereka datang dengan pongah, hanya bermodal selembar surat izin, mengatasnamakan negara dan kemajuan, lalu mencederai alam serta menampar batin rakyat yang telah menjaga tanah itu secara turun-temurun.

Kapitalisme dan Penindasan Baru

Jika kita menafsir ulang melalui kacamata Karl Marx, ini jelas bukan peristiwa baru. Kapitalisme selalu lapar akan wilayah baru untuk dieksploitasi. Ia datang dengan wajah modern, menjanjikan kemajuan dan kesejahteraan, tapi ujungnya selalu sama: alat produksi jatuh ke tangan segelintir elite, sementara masyarakat lokal dijerumuskan menjadi buruh di tanah kelahirannya sendiri. Ini bukan lagi penindasan yang tersembunyi, tetapi dijalankan secara terang-terangan dan dirayakan oleh birokrasi serta investor.

Kembali ke Jalan Leluhur

Penulis meyakini bahwa masa depan Raja Ampat tidak bisa dibangun dengan mengabaikan masa lalu. Kita harus kembali pada prinsip dasar yang ditanamkan para raja dan tokoh adat: bahwa kekuasaan adalah tanggung jawab untuk menjaga, bukan alat untuk menguasai; bahwa tanah adalah amanah, bukan komoditas.

Masyarakat Raja Ampat bukan objek pembangunan, melainkan subjek yang harus memimpin arah perubahan. Tanpa hal itu, Raja Ampat akan terus menjadi surga bagi turis, tapi neraka yang sunyi bagi warganya sendiri.

“Raja Gemuk” bisa siapa saja: investor, pejabat, bahkan orang lokal yang lupa asal-usulnya. Tapi selama kita membiarkan mereka menentukan arah Raja Ampat tanpa perlawanan, kita sedang menggali kubur bagi identitas kita sendiri.

Raja Ampat harus kembali ke pelukan rakyatnya bukan semata agar investor asing puas, lalu mencemari keindahannya. Tapi karena setiap jengkal tanah dan lautnya adalah harga diri, air mata, dan kehormatan manusia yang telah menjaga dan merawatnya dengan cinta yang tak pernah tercatat di meja kekuasaan. (*)

Exit mobile version