Oleh: Mochdar Soleman
Dosen dan Pengamat Politik Lingkungan, Universitas Nasional
____________________
DI desa itu, pembangunan tak dimulai dari gemuruh beton, tetapi dari ladang, Surau, dan adab hidup yang penuh doa. Lembahsari, sebuah desa kecil di Kecamatan Jatinegara, Kabupaten Tegal, menyampaikan pesan yang dalam bahwa kemajuan bukan hanya milik kota, dan tanah yang dirawat dengan syukur akan membalas dengan keberkahan.
Saya tiba di desa ini Minggu malam, 22 Juni 2025 dalam wujud implementasi Tri Dharma Perguruan Tinggi, Program Studi Ilmu Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Nasional.
Seakan waktu terasa melambat di Lembahsari, tak ada bising jalanan atau hiruk-pikuk pembangunan perkotaan. Yang ada adalah sawah tadah hujan, ladang dan kebun yang dihiasi Padi, Jagung, Singkong dan di atas segalanya hamparan kebun cengkeh yang sedang mekar.
Lembahsari adalah desa yang membungkus kehidupan warganya dalam tiga hal: tanah, ilmu, dan iman. Di sini, santri mengaji dengan tekun di sela kehidupan agraris warga desa. Mereka mungkin tak ikut menanam atau menjemur cengkeh, tapi keberadaan mereka menghadirkan suasana batin yang menjaga semesta tetap seimbang.
Pendidikan Ekologi yang Mengakar
Di banyak tempat, pendidikan lingkungan adalah proyek berbiaya tinggi yang datang dari luar. Namun di Lembahsari, nilai-nilai ekologis hidup dalam keseharian warganya. Para petani bekerja di ladang dengan kesadaran spiritual, sementara para santri belajar tentang nilai kesederhanaan, syukur, dan tanggung jawab terhadap sesama dan alam dari ruang-ruang pengajian dan Surau desa.
Mereka tumbuh dalam tradisi yang menjadikan tanah dan ilmu sebagai dua kutub kehidupan. Meski mereka tak langsung bersentuhan dengan cangkul atau panen, mereka menyatu dalam kesadaran kolektif untuk menjaga keseimbangan desa.
Petani yang Berdoa, Santri yang Menjaga Makna
Lembahsari menghadirkan wajah lain dari pembangunan bahwa bukan soal pencapaian ekonomi semata, melainkan tentang keharmonisan antara kerja dan ibadah, antara ladang dan surau. Para petani bekerja dengan penuh syukur, sementara santri melantunkan doa-doa yang melindungi desa dari kerakusan.
Di desa ini, rumah adalah tempat tinggal yang damai, walaupun sebagian rumah tak berpenghuni, jalan diperbaiki agar anak-anak bisa mengaji tanpa hambatan. Itulah pembangunan bernilai. Bukan megah, tapi bermakna.
Politik Ruang dan Bayangan Ekstraksi
Namun sayang sungguh disayang bahwa Lembahsari bukan desa unggulan investasi. Ini tidak menampik bahwa bukan berarti Lembahsari steril dari ancaman eksploitasi. Ada jalan yang diperlebar, tanah yang mulai ditawar. Dalam bayangan saya yang bisa saja iya, bisa juga tidak bahwa investasi ekstraktif mulai menyusup melalui celah-celah migrasi penduduk dan lahan kosong.
Saya menilai jika tak ada perlindungan menyeluruh terhadap ruang hidup desa, bukan tak mungkin ladang cengkeh, jagung, singkong dan sawah itu tergantikan oleh ruko dan pabrik. Sebab politik ruang bukan hanya soal angka dalam rencana tata wilayah saja, tapi juga menyangkut masa depan spiritual dan ekologis desa.
Santri sebagai Benteng Sosial
Memang belum lama berada di Lembahsari, namun saya melihat bahwa kehadiran pesantren, madrasah, dan majelis taklim menjadi sumbu stabilitas sosial Lembahsari. Para santri tidak hanya menjaga ilmu agama, tapi juga menghidupkan nilai-nilai sosial dan kesadaran ekologis dalam pengajian, dan diskusi keagamaan.
Mereka bukan penjaga ladang, tapi penjaga nilai. Mereka membaca perubahan musim melalui cerita para orang tua, dan meresapi makna migrasi penduduk sebagai bagian dari perubahan zaman. Dalam laku mereka, santri menjadi penjaga irama hidup desa, meski tidak memegang cangkul.
Politik Pembangunan yang Belajar dari Desa
Desa seperti Lembahsari mestinya menjadi sumber inspirasi, bukan objek modernisasi sepihak. Sudah saatnya negara mengubah arah, belajar dari desa, bukan sekadar menjadikan desa sebagai target pembangunan dari atas.
Bukan dengan membangun pabrik, tapi dengan memperkuat UMKM desa, pertanian berkelanjutan, dan pendidikan berbasis nilai-nilai lokal dan religius. Karena sejatinya, yang menjaga negeri ini bukan hanya infrastruktur, tapi warga yang memuliakan tanah dan menebar doa.
Wangi yang Tak Pernah Hilang
Hari ini, sudah hari keempat dalam kegiatan PKM, Program Studi Ilmu Politik, FISIP, UNAS di Lembahsari, wangi cengkeh masih menempel di udara. Namun yang paling mengesankan bukan semata aroma hasil panen, melainkan wangi keberkahan yang lahir dari kehidupan yang jujur, dari iman yang hidup dalam keseharian, dan dari manusia yang tak merasa lebih besar dari tanah tempat mereka berpijak.
Lembahsari bukan hanya titik geografis. Ia adalah pelajaran. Bahwa pembangunan tidak selalu harus bising. Ia bisa datang dalam bentuk lantunan ayat, kerja sunyi para petani, dan kesetiaan menjaga tanah dengan cara yang tak mengusik langit. (*)