Opini  

Public Trust

Oleh: Yahya Alhaddad, S.Sos., M.Si
Caleg Kota Ternate Dapil Ternate Selatan dan Moti
Partai Perindo Nomor Urut 03

_____

KEPERCAYAAN publik merupakan substansi paling menentukan keberhasilan diselenggarakan pelayanan publik dalam sistem pemerintahan. Semakin baik pelayanan publik maka semakin besar pula kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah. Kepercayaan akan tumbuh dan tidaknya sangat bergantung pada penyediaan fasilitas publik yakni terpenuhinya atau tidaknya pembangunan berkeadilan di berbagai sektor.

Fenomena pelayanan publik dan kepercayaan dapat kita cermati di Kota Ternate, misalnya pada 2023 Litbang Halmaherapost.com, merilis hasil survei tentang tingkat kepuasan kinerja Pemerintah Kota Ternate, dengan tingkat kepuasan masyarakat mencapai 71,2 persen. Survei itu terdapat 16 indikator kinerja dalam mengukur tingkat kepuasan, namun indikator-indikator tersebut tidak disebutkan dan dijelaskan sejauh mana indikator itu mendorong dimensi kemajuan berkeadilan.

Sejalan dengan itu, menurut Bouckaert & Van De Wale (2003), pelayanan publik yang dilaksanakan birokrasi pemerintah tidak memuaskan atau tidak memberikan dampak perubahan dalam tatanan kehidupan publik, maka diyakini kepercayaan publik cenderung menurun terhadap pemerintah atau justru sebaliknya.

Di sini saya sekadar melihat masalah kepercayaan publik dengan menggunakan perspektif fenomenologi. Dalam konteks pembangunan hampir sebagian besar masyarakat, khususnya Kota Ternate mengetahuinya, bahwa masalah marginalisasi pembangunan, misalnya di pulau Hiri, Moti dan Batang Dua masih cukup miris.

Aliansi Pemuda Hiri (AMPUH) menilai Pemerintah Kota Ternate di bawah kepemimpinan Tauhid Soleman hanya dapat mengobral janji. Faktanya program pembangunan Batang Dua, Hiri dan Moti (BAHIM) yang menjadi prioritas Ternate Andalan telah diabaikan hingga sekarang (dikutip laman tandaseru.com, 2024). Bahkan Sahroni. A Hirto (2023), dalam sebuah artikelnya mengatakan Pemerintah Kota Ternate, “Merencanakan Kebohongan.”

Fakta-fakta tersebut merupakan suatu pengalaman yang tengah berlansung lama dirasakan oleh masyarakat dan setiap protes, kritik adalah sinyal keras terhadap ketidakhadiran atau mandeknya kinerja kekuasaan pemerintah. Ketidakpuasan tersebut adalah bentuk nyata kemerosotan kepercayaan akibat masih melebarnya ketidakadilan, penyimpangan dan diskriminasi dalam kebijakan pembangunan.

Hal yang lebih memiriskan lagi adalah begitu banyak dan kompleksnya problem kota, akan tetapi sangat jarang kita menemukan sikap kritis Wakil Rakyat dalam mengawal secara ketat program pemerintah sebagai agenda perubahan. Hal ini mengundang banyak tanya, apa saja yang dikerjakan oleh Wakil Rakyat selama ini. Bukankah mengawal aspirasi masyarakat adalah tanggung jawab etik mereka. Selama ini Wakil Rakyat terkesan mengabaikan tugas dan tanggung jawabnya sehingga ada anggapan dari masyarakat bahwa, Wakil Rakyat adalah hanyalah “pelengkap derita masyarakat.”

Penderitaan dan luka yang dialami masyarakat selama ini saya kira menjadi suatu pengalaman bermakna, bahwa harapan tentang perubahan—seharusnya diberikan kepada mereka yang matang baik secara intelektual, memiliki kepedulian dan rasa tanggung jawab moralnya. Untuk mengukur kemampuan tersebut pada diri seorang calon pejabat publik, maka yang diperlukan adalah mendalami rekam jejaknya baik melalui kata maupun tindakannya. Di sana akan kita temukan: kata dan tindakan, apakah sebagai benang kusut atau embun yang dapat menumbuh-kembangkan setiap benih.

Substansinya adalah reputasi seorang sebelum menjadi pejabat publik, ia selalu menjadi connecting experience, kedekatan emosional, tindakan memberi sebagai bentuk relasi pertukaran etik—bukan selalu mengharapkan pemberian. Seorang publik figure seperti demikian selalu menjadi pendengar setia di tengah-tengah masyarakat, lalu memotretnya secara detail setiap masalah dan selalu berupaya untuk memecahkannya. Pengalaman pengabdian terhadap masyarakat adalah kuncinya.

Tipikal calon pejabat publik seperti demikianlah yang mestinya kita dorong untuk menduduki kursi kekuasaan—baik legislator maupun pejabat pemerintahan. Oleh karena indikator kepercayaan maupun ketidakpercayaan terhadap seseorang tentu akan dinilai atas kualitas dan prestasi kerjanya di masa lalu. Dengan begitu, apabila menduduki kursi kekuasaan pejabat tersebut selalu memprioritaskan peningkatkan harapan dan kualitas hidup masyarakat.

Jadi menurut hemat saya landasan untuk memperkokoh public trust dalam kehidupan bernegara adalah melalui relasi pemberian atau pertukaran etik—baik dari aspek sosial-budaya, ekonomi maupun politik. Dan secara politik, kekuasaan suatu pemerintah merupakan hasil konsensus masyarakat melalui prinsip demokrasi, maka pemerintah berkewajiban untuk memenuhi kebutuhan dasar masyarakat dan dengan demikian, akan semakin tumbuh dan besarnya kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah. (*)

Exit mobile version