Opini  

Peta Palsu atas ‘Tanah Suci’

Oleh: Riski Ikra
Ketua Umum HPMB

Halmahera, pulau kaya nikel, kini terjebak dalam janji pembangunan yang menipu. Tanah adat dirampas tanpa izin, sementara masyarakatnya dipaksa mengorbankan identitas demi keuntungan industri“.

Halmahera kini menjadi medan konflik antara kapitalisme global dan warisan adat. Di Desa Kimalaha Wayamli, Halmahera Timur, tanah adat dirampas tanpa izin, dan ketika masyarakat melawan, mereka dihadapkan pada aparat kepolisian, bahkan ditembak gas air mata seolah mereka teroris, bukan pemilik sah tanah leluhur. Fenomena ini mencerminkan kegagalan negara dalam melindungi hak masyarakat adat, menggantikan makna pembangunan dengan ekspansi industri yang merugikan.

Pemerintah dan korporasi, melalui proyek-proyek seperti PT Indonesia Weda Bay Industrial Park (IWIP) dan PT Sambiki Tambang Santosa (STS), serta perusahaan lainnya, mengklaim membawa kemajuan. Namun, di lapangan, kenyataan justru bertolak belakang: ruang sakral dihancurkan, budaya dirusak, dan warisan kolektif lenyap. Tanah bukan sekadar komoditas ekonomi, tanah adalah jantung sosial yang menyatukan identitas dan nilai masyarakat.

Dalam perspektif sosiologi kritis, tanah adalah struktur sosial yang menopang kehidupan bersama. Ketika eksploitasi terjadi tanpa dialog dengan masyarakat adat, yang dirampas bukan hanya tanah, tetapi sistem nilai dan relasi sosial yang telah ada sejak lama. Halmahera kini menjadi contoh nyata alienasi, sebagaimana dianalisis oleh Marx, di mana masyarakat tercerabut dari relasi otentik dengan tanah dan komunitasnya.

Bukan hanya ruang yang dijajah, tetapi juga struktur sosial yang terpecah. Relasi kuasa di tingkat lokal pun terganggu: siapa yang bekerja dengan perusahaan, siapa yang menolak, dan siapa yang memilih diam. Peta yang digambar negara bukan hanya soal administrasi, melainkan alat hegemonik untuk mengatur kembali konfigurasi sosial demi kepentingan industri.

Peta legal yang disahkan negara tidak mengenal tapal batas sakral. Sungai bukan sekadar sumber air, hutan bukan hanya pohon; bagi masyarakat adat, ini adalah ruang spiritual yang terhubung dengan leluhur mereka. Peta yang diciptakan negara, bagi mereka, bukan hanya alat administrasi, melainkan alat kuasa yang menghapuskan nilai-nilai hidup yang telah ada.

Pembangunan yang dijanjikan sebagai jalan keluar dari kemiskinan seringkali tidak menghormati dimensi sosial dan kultural tanah. Yang dibangun bukanlah kemajuan, tetapi krisis makna dan hilangnya identitas kolektif.

Olehnya itu, pemerintah daerah harus menyadari bahwa tanah bukan sekadar ruang ekonomi, melainkan ruang hidup yang harus dihormati. Tanpa ruhnya, pembangunan hanya akan meninggalkan luka sosial dan ekologis yang tak terobati. (*)

Exit mobile version