(Kado 22 Tahun HUT Kabupaten Kepulauan Sula)
Oleh: Rifan Basahona
Mahasiswa Pendidikan Bahasa Arab Pascasarjana UIN Alauddin Makassar
_________________________________
DAERAH Kabupaten Kepulauan Sula dibangun dengan nawaitu yang suci, usaha yang penuh kasih dan keringat yang sesekali menetes dalam setiap perjalanan, diskusi dan diplomasi. Dan hari ini genap 22 lilin telah dinyalakan menandakan bahwa ia telah memasuki usia yang produktif. Jika diibaratkan seperti manusia, maka seharusnya usia ini harus menonjolkan cahaya-cahaya kebahagiaan yang lahir dari setiap rakyat yang ada.
Tanggal 31 Mei menjadi momentum bersejarah dan ajang untuk membuka kembali pikiran kelam kita tentang bagaimana dan untuk apa negeri ini dibangun, namun di saat yang sama terlihat berdiri panggung yang begitu megah, artis ibukota didatangkan untuk menghibur rakyat. Logika pemerintah ingin membuktikan bahwa seolah-olah dengan hiburan dan goyangan artis yang hanya semalam menjadi tolak ukur bahwa rakyat sangat bahagia dengan kebijakannya. Padahal dibalik pangung mewah dan gemerlap lampu sorot, ada setumpuk mata yang berkaca dengan air mata untuk menuntut keadilan, pelayanan dasar dan perhatian dari pemerintah.
Jika dilihat dari usia yang sudah sangat produktif 22 tahun berdiri sebagai daerah otonom, seharusnya Kabupaten Kepulauan Sula dapat menunjukkan kemajuan yang signifikan baik dari segi infrastruktur, ekonomi, maupun kesejahteraan sosial. Namun harapan yang demikian tidak dapat dijangkau oleh masyarakat, sebagian masyarakat di pelosok desa masih harus bergelut dengan akses pendidikan, pelayanan kesehatan dan setumpuk problematika yang ada.
Namun ironinya dengan gegap gempita pemerintah daerah merayakan HUT yang ke 22 tahun dengan memperlihatkan jurang pemisah antara kebijakan pemerintah dan kebututuhan rakyat. Hal demikian bukan saja tahun ini, dari tahun-tahun sebelumnya juga demikian pemerintah daerah selalu melakukan event-event dan kegiatan seremonial yang memakan biaya ratusan juta bahkan miliaran. Hal ini menandakan bahwa pemerintah daerah sangat minim ide tentang pembangunan.
Di pelosok desa terpencil masih seperti gua kosong tanpa penghuni, gelap gulita karena belum terjangkau listrik. Jalan-jalan penghubung antardesa, kecamatan dan kabupaten berlumpur di musim hujan dan berdebu di musim kemarau. Anak-anak harus menempuh jarak berkilo-kilometer untuk sekolah, dan warga sakit harus menunggu kapal berlayar untuk mendapat perawatan medis. Pertanyaannya, untuk siapa sebenarnya panggung megah itu dibangun?
Momentum hari jadi menjadi ajang evaluasi dan mawas diri tentang apa yang sudah dilakukan di daerah, seharusnya kita merenung dan membuka ruang-ruang diskusi intelektual dengan berbagai pihak, untuk melihat apa yang perlu dibangun dan perlu dibina, bukan melakukan pesta pora, rakyat tidak butuh panggung megah dan lampu yang bersinar hanya semalam, namun rakyat butuh daerah yang bersinar sepanjang masa dengan kegiatan-kegiatan yang progresif dan mencerminkan pembangunan yang bisa dinikmati sepanjang zaman.
Masyarakat tidak pernah anti hiburan atau perayaan. Tapi ketika hiburan lebih menonjolkan hal-hal yang tidak ada kaitannya dengan pembangunan kesejahteraan, maka jangan salah ketika masyarakat menaruh kecurigaan bahwa panggung yang megah hanyalah tabir penutup dari setiap rentetan problematika yang ada, ketertinggalan, dan keterbatasan yang terus menghantui daerah ini. Yang diharapkan dari hari jadi kabupaten ini bukanlah konser musik, suara merdu dan goyangan artis, melainkan komitmen untuk mendengar dan memenuhi suara rakyat.
Kita telah mengamini secara saksama bahwa dalam struktur pemerintahan daerah yang otonom, rakyat menjadi subjek utama dari proses pembangunan. Namun realitas yang terjadi di Kabupaten Kepulauan Sula seringkali memperlihatkan sebaliknya, setumpuk kebijakan yang diambil oleh pemangku kebijakan lebih mempertimbangkan pencitraan jangka pendek ketimbang dampak jangka panjang terhadap kesejahteraan masyarakat. Panggung hiburan yang dihelat setiap tahun menjadi contoh kecil dari fenomena besar, bagaimana pemerintah lebih sibuk membangun kesan daripada memperbaiki keadaan.
Pendidikan, sebagai ruh yang menghidupkan pembangunan manusia, masih jauh dari pandangan mata dan harapan. Sekolah-sekolah di desa terpencil kekurangan guru, fasilitas belajar yang memadai, seperti bangunan dan akses internet. Anak-anak di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil harus berjuang menyusuri gunung, air-air besar dan hutan belantara demi memenuhi beberapa kebijakan pendidikan nasional yang harus berbasis digital.
Hal serupa terjadi dalam sektor kesehatan. Rumah sakit daerah yang hari ini masih menyimpan pertanyaan besar soal pelayanan dan ketersediaan alat medis dan insentif dari setiap pegawai yang ada di sana, banyak warga yang sering bercengkrama dengan badai dan ombak-ombak besar hanya untuk menyelamatkan nyawa di ibukota kerena ketersediaan fasilatas kesehatan di desa yang sangat minim.
Di sektor perekonomian lokal pun berjalan statis, potensi kelautan dan darat sangat berlimpah namun tidak mampu dikelola secara optimal. Kesulitan petani dan nelayan dalam mengakses pasar modal untuk perekonomian lokal seharusnya menjadi perhatian khusus dari pemerintah. Di sisi lain, pemerintah daerah belum mampu mem-branding perekonomian lokal sehingga bisa menjadi tumpuan kehidupan bagi masyarakat.
Pariwisata, seperti Tanjung Waka dan beberapa tempat lain yang seharusnya menjadi salah satu ikon nasional yang sebenarnya memiliki potensi besar dan punya nilai jual tinggi, justru terlihat hanya dalam perayaan-perayaan hari besar. Pemerintah lebih sibuk mendatangkan artis luar ketimbang memperbaiki akses jalan dan jembatan menuju destinasi wisata lokal atau memberdayakan pelaku wisata di daerah. Akibatnya, geliat ekonomi wisata yang seharusnya bisa memberi nilai tambah untuk masyarakat demi menunjang kehidupan sehari-hari justru hanya mendatangkan sampah bagi daerah.
Euforia HUT yang ke 22 tahun daerah yang membentangkan spanduk, foto pejabat berpose, dan video pesta. Tapi di kolom komentar, setiap media sosial suara-suara kritis membentang luas. Rakyat mulai menyadari bahwa setiap event yang dibuat adalah pencitraan yang menutup setiap kebohongan yang ada. Di setiap desa banyak masyarakat yang membentangkan spanduk protes terhadap kebijakan pemerintah desa yang jika dilihat hanya untuk memenuhi hasrat pemerintah daerah seperti mempertanyakan soal transparansi anggaran terkait dengan insentif pejabat desa yang katanya dipotong demi kegiatan seremonial, efisiensi program, dan akuntabilitas pejabat publik. Dengan kesadaran ini menjadi tanda bahwa rakyat tidak lagi ingin dibodohi.
Seharusnya, ulang tahun ke-22 menjadi momen reflektif untuk bertanya, sudahkah pemerintah hadir dan menjawab kebutuhan dasariah dari rakyat? Bukan malah mengundang artis dan bergoyang di atas tumpukan setiap masalah yang ada. Dalam teori tata kelola pemerintahan yang baik (good governance), indikator seperti partisipasi, akuntabilitas, dan responsivitas menjadi tolak ukur utama. Namun, jika indikator-indikator ini tidak tercermin dalam kebijakan dan pelayanan publik, maka perayaan hanya menjadi jubah politik demi menutup setiap kebohongan yang dibuat. Kabupaten Kepulauan Sula tidak akan maju hanya dengan panggung megah, dan goyangan artis di setiap hari jadi, tapi dengan keberanian untuk memperbaiki sistem, dan tata kelola yang baik yang mencerminkan nilai-nilai demokrasi.
Momentum hari jadi yang ke 22, harusnya menjadi ajang untuk mengevaluasi perjalanan pembangunan apalagi dalam pemerintahan yang dua periode dipimpin oleh pemimpin yang sama. Apa saja capaian yang sudah berhasil dilakukan? Apa saja yang masih menjadi pekerjaan rumah? Evaluasi ini tidak cukup dilakukan secara internal dalam pemerintahan, namun juga melibatkan akademisi, tokoh masyarakat, tokoh adat, mahasiswa, pers, dan komunitas sipil yang punya perspektif kongkrit, objektif, dan solutif terhadap pembangunan daerah.
Sudah saatnya arah pembangunan daerah dikembalikan pada tujuan utamanya, menciptakan kehidupan yang layak dan bermartabat bagi seluruh warga Kabupaten Kepulauan Sula. Kita harus menutup ruang untuk kemewahan yang simbolik dan seremonial belaka. Kepemimpinan sejati diuji bukan dalam tepuk tangan penonton, dan goyangan artis di atas panggung yang mewah, tapi dalam keberanian untuk membuat keputusan demi kemaslahatan bersama.
Jika ulang tahun yang ke-22 ini hanya dirayakan dengan pesta dan hura-hura, maka kita kehilangan makna sejarah. Kita melupakan perjalanan panjang para petua dan para tokoh yang berjuang dengan setiap tindakan dan pikiran-pikiran progresif dalam membentuk daerah ini. Kita menafikan harapan-harapan yang pernah dititipkan dalam tinta sejarah pemekaran wilayah dua dekade lalu.
Biarlah tulisan ini menjadi pengingat bahwa rakyat Kabupaten Kepulauan Sula tidak butuh pesta megah, goyangan dan suara merdu dari artis-artis ternama, namun yang dibutuhkan adalah kehadiran yang nyata dari pemerintah daerah. Biarlah catatan ini menjadi cermin bahwa waktu terus berjalan, dan rakyat terus menanti perubahan. Jangan sampai sejarah mencatat bahwa di balik gemerlap panggung, suara rakyat justru dibiarkan tenggelam. (*)