Opini  

Sula Diinjak Tambang: Kekuasaan, Keserakahan, dan Hilangnya Nurani

Oleh : M. Eko Duhumona

Pegiat Pilas Institute

___________________

DI bagian timur Indonesia, Pulau Mangoli—yang merupakan bagian dari Kabupaten Kepulauan Sula, Maluku Utara—terbentang kegelapan. Sebanyak sepuluh Izin Usaha Pertambangan (IUP) telah dikeluarkan untuk area yang mencakup lebih dari setengah pulau. Kawasan yang dulunya menjadi penopang kehidupan, kini terancam berubah menjadi sumber penderitaan. Yang lebih ironis, semua ini terjadi sebelum operasional tambang dimulai. Apakah kita masih dapat menyebut ini sebagai bentuk pembangunan? Atau apakah ini sekadar langkah sistematis untuk mengusir masyarakat demi kekuasaan dan keuntungan?

Tambang-tambang ini tidak muncul begitu saja. Mereka berasal dari meja-meja birokrasi yang tidak sepenuhnya terbuka. Ketika IUP diberikan tanpa keterlibatan masyarakat secara penuh, tanpa konsultasi adat, dan tanpa pertimbangan lingkungan yang seharusnya, yang terlahir bukanlah pembangunan, melainkan bentuk baru dari kolonialisme: sekelompok kecil elite mengatur masa depan tanah yang tidak mereka huni.

Perhatikan peta tersebut. Pulau Mangoli tidak terlalu luas. Namun, sepuluh IUP menguasai lebih dari setengah wilayahnya. Apa maksudnya? Ini bukan sekedar perluasan investasi—ini merupakan penguasaan atas tempat tinggal. Komunitas lokal, petani, nelayan, serta generasi muda—semuanya dipaksa pergi dari tanah yang menjadi warisan mereka. Saat air mulai tercemar, hutan ditebangi, dan laut tercemar limbah, siapa yang masih bertahan? Para investor? Tentu tidak. Mereka datang dengan perjanjian lalu pergi dengan keuntungan. Yang tersisa hanya bekas, lumpur, dan bekas luka.

Sayangnya, situasi ini terus berlanjut karena negara terlalu memanjakan investasi dan terlalu keras pada rakyatnya sendiri. Kehadiran negara hanya sebatas izin, bukannya memberikan perlindungan. Baik pemerintah pusat maupun daerah sering kali berperan sebagai penghubung antara investor dan lahan, bukan sebagai pelindung kepentingan rakyat dan lingkungan. Ketika suara masyarakat tidak didengarkan di tengah banyaknya dokumen izin, artinya kesadaran moral kekuasaan telah hilang.

Lebih dari sekadar itu, kita tidak hanya membahas kerusakan lingkungan atau ketidakadilan ekonomi. Kita membicarakan tentang kehilangan tujuan etis dalam pembangunan. Apa makna pertumbuhan PDRB bila masyarakat kehilangan sumber penghidupan? Apa manfaat investasi triliunan jika sumber air yang bersih dan lahan subur rusak selamanya? Kita memerlukan dukungan. Bukan untuk modal, melainkan untuk kehidupan.

Secara spiritual, pemberian izin usaha pertambangan secara sembarangan adalah suatu tindakan yang mengkhianati kepercayaan Tuhan. Manusia bukanlah yang menciptakan bumi. Kita hanya menerima titipan. Dalam setiap ajaran agama, kepercayaan harus dilindungi, bukan diperdagangkan. Saat hutan digantikan dengan aktivitas tambang, dan sungai diubah menjadi tumpukan limbah, kita tidak hanya merusak alam, tetapi juga menyakiti jiwa bersama masyarakat yang telah hidup ratusan tahun dalam keselarasan dengan alam sekitarnya.

Lebih menyedihkan lagi: tambang-tambang ini bahkan belum berfungsi, tetapi dampaknya sudah dirasakan. Ketegangan dalam masyarakat semakin meningkat. Rasa aman dan nyaman penduduk mulai terganggu. Para petani mulai merasa cemas. Para nelayan mulai merasa khawatir. “Jika semua ini baru permulaan, bagaimana jadinya saat benar-benar beroperasi”?

Inilah momen untuk berbicara dengan jelas: Sula tidak memerlukan operasi tambang jika yang ada hanya ingin mengambil sumber daya dan pergi. Sula membutuhkan keberlangsungan, keadilan, dan perlindungan. Pemerintah harus segera mengevaluasi semua IUP di daerah ini. Laksanakan pemeriksaan lingkungan, studi sosial, dan dengarkan suara masyarakat sebelum izin dikeluarkan.

Kami tidak menolak adanya pembangunan. Namun, pembangunan seharusnya tidak dilakukan dengan mengorbankan kehidupan yang ada. Jika pemerintah terus mendukung sifat serakah, maka masyarakat berhak untuk berkata: sudah cukup!

Karena lahan ini bukan milik para investor. Tanah ini bukan tempat tinggal untuk para pemodal. Sula adalah tempat tinggal. Dan tempat tinggal harus dirawat, bukan diperjualbelikan. (*)

Exit mobile version