Oleh: Yahya Alhaddad, S.Sos., M.Si
Caleg Kota Ternate Dapil Ternate Selatan dan Moti
MENGAMATI fakta perkembangan kehidupan masyarakat kekinian yang cenderung mengutama kekuatan relasi kuasa dan ekonomi finansial (ekonomi determinan). Dan khususnya di Kota Ternate—begitu terasa, bahwa kita, masyarakat kota kehilangan makna atau landasan hidup.
Kehilangan makna tersebut disebabkan mengentalnya individualistik, egoistik, dominatif, saling sikut dan menciptakan dualisme kehidupan—miskin-kaya, menguasai-dikuasai, laki-laki-perempuan. Relasi sosial-budaya, social etic, solidaritas, kepercayaan, dan keterkaitannya dengan ekonomi atau yang disebut modal terasa telah kehilangan fungsi logis dalam kehidupan hari-hari dalam konteks relasi vertikal.
Pierre Bourdieu, seorang sosiolog Perancis, dalam sebuah tulisan yang berjudul “The Forms of Capital” (1986) mengemukakan bahwa untuk dapat memahami struktur dan cara berfungsinya dunia sosial perlu dibahas modal dalam segala bentuknya, tidak cukup hanya membahas modal seperti yang dikenal dalam teori ekonomi.
Penting juga diketahui bentuk-bentuk transaksi yang dalam teori ekonomi dianggap sebagai non-ekonomi karena tidak dapat secara langsung memaksimalkan keuntungan material. Padalah sebenarnya dalam setiap transaksi modal ekonomi selalu disertai oleh modal immaterial berbentuk modal budaya dan modal sosial.
Bourdieu menjelaskan perbedaan antara modal ekonomi, modal budaya dan modal sosial, dan menggambarkan bagaimana ketiganya dapat dibedakan antara satu sama lain dilihat dari tingkat kemudahannya untuk dikonversikan. Modal ekonomi misalnya, menurut Bourdieu, memang dengan mudah dapat dikonversikan ke dalam bentuk uang, dan dapat dilembagakan dalam bentuk hak kepemilikan serta dapat diwariskan.
Dalam kondisi tertentu modal budaya juga dapat dikonversikan menjadi modal ekonomi, simbolik, dan dapat dilembagakan, seperti kualifikasi pendidikan dan prestise. Demikian pula modal sosial dalam kondisi tertentu dapat dikonversikan ke dalam modal ekonomi, budaya, simbolik dan bahkan dapat dilembagakan dalam bentuk gelar kesarjanaan, pengembangan ekonomi finansial, prestise, pengetahuan.
Pun modal simbolik: kehormatan dan prestise seseorang seperti misalnya posisi atau jabatan publik. Modal simbolik ini pun dapat dikonversikan dalam bentuk modal ekonomi dan budaya melalui penguatan modal sosial: jaringan pertukaran relasi sosial, pergaulan, pengakuan dan kepercayaan.
Seperangkat jenis-jenis modal yang dijelaskan oleh Piere Bourdieu tersebut yang saya maksudkan dengan investasi. Investasi merupakan seperangkat hubungan sosial etic, suatu energi pertukaran timbal-balik di ranah sosial saling menunjang, menguatkan, menguntungkan dalam aspek sosial-budaya, ekonomi, pendidikan, politik dan sebagainya.
Apalagi di tengah derasnya arus mobilitas masyarakat dan urbanisasi, krisis lingkungan dan kerentanan pasokan pangan seperti Kota Ternate. Sehingga dibutuhkan sebuah konsep yang sesuai dengan karakteristik masyarakat dan konsep investasi bagi saya sangat relevan sebagai basis dan orientasi pembangunan perkotaan. Begitupun konsep pembangunan perlu dimaknai sebagai sebuah proses etika perpolitikan dalam artian pertukaran investasi yang disebut Levinas: etika politik.
Misalnya pertukaran dalam konteks politik praktis: antar masyarakat dan bakal calon pejabat publik, bahwa relasi vertikal ini mestinya diperketat dengan etika sosial dan politik sehingga terciptanya pembangunan berkeadilan. Tujuannya ialah agar tidak terjadi relasi dominasi dan penyimpangan yang berefek pada tersumbatnya proses pembangunan.
Fakta penyimpangan, penyumbatan pembangunan yang selama ini terjadi disebabkan oleh tidak adanya intervensi baik secara konseptual maupun praktis, dan telah saya jelaskan dalam artikel saya bertajuk: “Hijrah” yang dipublikasikan di nuansamalut.com.
Jabatan Publik
Reformasi yang berlangsung selama kurang lebih 22 tahun, sistem pemilihan langsung jabatan publik tak lagi membeda-bedakan siapapun, tua, muda, laki-laki, perempuan, pengusaha, artis, seniman, akademisi, ustad atau apapun profesi seseorang sepanjang diusung oleh partai politik serta memenuhi persyaratan administratif dapat maju sebagai bakal calon (pejabat publik).
Dengan demikian jabatan publik adalah sebuah jabatan yang dipilih secara demokratis oleh masyarakat melalui sistem pemilihan umum (Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden, Bupati, Wali Kota dan, juga DPR). Dan dalam sistem demokrasi terdapat hak memilih (memberi), menerima dan kewajiban memberi kembali suatu ketika yang oleh Marcel Mauss disebut: pemberian.
Memberi, menerima, dan memberi balik menurut Mauss, adalah proses sosial yang terjadi terus-menerus. Seperti juga dalam sistem pemilihan pejabat publik berlaku pula sistem pemberian: masyarakat memberikan hak suaranya, diterima suara tersebut untuk meraih kemenangan, dan bakal calon berkewajiban memberi balik kepada masyarakat di masa mendatang apabila terpilih sebagai pejabat publik.
Pemberian suara oleh masyarakat berdasarkan pada hubungan sosial, pengakuan, kepercayaan dan pemberian suara tersebut bagian dari investasi. Sebab, di sana ada harapan bahwa pejabat publik bersangkutan di kemudian hari berkewajiban memberi balik (mengkonversi) jabatannya (modal simbolik) dalam bentuk pembangunan berkeadilan: sebagai alas investasi masa depan.
Bahwa dapat dikatakan selama ini tidak adanya etika perpolitikan dan intervensi yang kuat sehingga berakibat pada retaknya apa yang disebut public trust. Fakta demikian sehingga diperlukan suatu upaya untuk mengembangkan dan mempraktiskan gagasan: investasi politik.
Bersambung…